Dalam rangka latihan menulis, sengaja tidak saya kirim ke media, spesial untuk user facebook di ruang yang maya ini.
Bagi sebagian remaja di indonesia khususnya yang tumbuh di lingkungan pesantren modern, cerpen dan novel islami adalah bacaan sehari-hari. Penulis cerpen dan novel, atau biasa disebut dengan sastra islami yang dikenal biasanya adalah angkatan 90-an. Sebutlah Pipiet Senja, Izzatul Jannah, Gola Gong, Asma Nadia, hingga novelis Azzura Dayana. Kebanyakan adalah hasil binaan dari apa yang disebut dengan Forum Lingkar Pena. penulis yang hingga kini masih eksis dari angkatan tersebut adalah 2 kakak beradik yaitu Helvy Tiana Rosa dan pendiri Forum Lingkar Pena (FLP) Asma Nadia. Penerbit dari sastra islami tersebut juga mempunyai penerbit tersendiri, yang terkenal adalah penerbit Pro-U media, Era Intermedia dan Gema Insani Press.
Saya dulu adalah salah satu penikmat sastra islami angkatan itu. sekitar tahun 2005 hingga tahun 2010 sastra islami ini masih bermunculan karya baru yang khas. Dikutip dari sastra33.blogspot.com, bahwa sastra islami angkatan ini memiliki warna tersendiri. Penulis sastra Islami cenderung terlalu fokus pada amanat yang akan disampaikan. Menurut penulisnya, yaitu Sukrisno Santoso, sastra islami angkatan ini mereduksi nilai estetika sastra. “Akibatnya, amanat tersebut disampaikan secara eksplisit, baik melalui teks Al-Qur’an dan hadits maupun melalui dialog tokoh. Maka, yang terjadi adalah para pembaca tinggal memungut –tanpa berpikir dan merenung– amanat yang sudah eksplisit tersebut. Di sinilah nilai estetika sastra dari novel semacam itu tereduksi” (Sukrisno Santoso, 2011).
Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang terkenal dengan nama singkatannya, yaitu HAMKA adalah contoh seorang ulama yang mengarang novel yang tidak kehilangan nilai estetika sastranya. Novel Di Bawah Lindungan Ka’bah menyuguhkan cerita yang sangat menarik yang mampu membuat pembacanya merenung serta memetik hikmah dan amanatnya. Disinilah letak perbedaan antara sastra islami karya lama seperti Hamka dengan sastra islami angkatan 90 hingga 2000-an.
Tapi bukan dari sisi itu yang ingin saya bahas, karena saya bukanlah anak sastra dan juga belum mempunyai karya sastra seperti mereka, maka saya merasa tidak berhak untuk mengkritiknya.
Sastra islami FLP dengan sasaran pembaca adalah para remaja muslim, maka tema yang seringkali muncul adalah tentang dakwah ala Rohis di SMA atau LDK di Universitas. Dan biasanya dibumbui oleh warna warni kisah cinta dan tentang lika-liku perjalanan mendapatkan jodoh. Disinilah letak perbedaan output itu amat kentara. Bagi pembaca umur SMP hingga SMA, maka biasanya yang ia dapatkan semangat untuk mengimplemetasikan sifat-sifat yang digambarkan oleh tokoh utama dalam sastra islami. Ghadil Bashar, menjaga jarak dengan lawan jenis, tidak berjabatan tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram adalah sifat khas yang ditekankan pada sastra islami angkatan ini. Dan memang baik untuk menjaga akhlaq remaja muslim. Outputnya jelas, ada yang benar-benar mempraktikkanya. Dan ada juga yang sok ke-akhi akhian yang pada akhirnya hanya untuk mendekati lawan jenis. Pembaca jenis ini hanya tertarik pada kisah cinta dan jodoh saja. Ia seperti laki-laki muslim (biasanya disebut ikhwan) yang “kekurangan cinta”. Kekurangan cinta yang hingga akhirnya ia mencari pelampiasan kekurang cintaan itu kepada wanita muslimah (akhwat).
Bagi pembaca yang memang sudah dilatar belakangi pendidikan agama islam, ia akan benar-benar meresapi pesan akhlaq yang terkandung dalam sastra islami tersebut. Ia sudah mendapat bimbingan dari ustadz/ustadzah, ditambah lagi membaca sastra islami itu, maka semakin mantaplah akhlaknya.
Tetapi tidak bisa dipungkiri sastra islami angkatan ini jika di cermati dengan baik memang sebagiannya terlalu membuai pembaca. kisah-kisah itu terlalu indah, kisah cinta dan pencarian pasangan hidup yang ideal, sholeh dan sholehah adalah terlalu jauh dari kenyataan kondisi remaja muslim yang ada. Saya pikir, hal ini membuat para pembaca yang benar-benar menerapkan pesan akhlaq itu kemudian merasa “dibohongi”. Sebutlah novel Birunya Langit Cinta karya Azzura Dayana. Dikisahkan dalam novel tersebut seorang Dey, adalah aktivis Rohis di sebuah Sekolah Menengah Atas tempatnya belajar. Ia yang akhwat itu begitu taat pada norma agama, pengetahuan islamnya luas, dan menerapkan akhlaq islami yang jauh dari maksiat dan begitu ke-ukhti ukhtian. Berusaha menjauhi maksiat, hingga ia akhirnya mendapatkan pasangan dan menikah. Kisahnya indah, endingnya pun indah. Dan memang ending yang indah itu hanya ada dalam cerita saja.
Ada sebagian pembaca remaja itu, yang ketika masih SMP-SMA menjaga akhlaqnya. Hingga ia menemukan fakta bahwa kenyataan di lingkungan nyata tidaklah seindah cerpen dan novel islami yang ia baca. Ia perlu menyadari bahwa hal tersebut hanya ada dalam sastra islami fiksi. Akhlaq temannya, teman dari teman-temannya, teman dari teman-temannya lagi, atau ustadznya sendiri bahkan, tidak semua taat seperti dia.
Ia harus menerima dan toleran terhadap temannya, ia harus lebih longgar dalam menyeleksi temannya. Karena, tidak semua temannya itu mengerti pergaulan ikhwan-akhwat. Atau bahkan temannya itu sama sekali tidak membaca sastra islami.
Dan remaja yang taat ini, kemudian inginnya mendebat semua orang, terutama teman-temanya. Ia akan senang sekali jika teman-temannya menjauhi maksiat seperti dirinya. Ia senang beradu argumen dan menunjukan kepintaranya dan wawasanya tentang adab dan akhlaq dalam islam. Dan saya katakan, akhwat semacam ini adalah dambaan para ikhwan. Percayalah, ikhwan itu akan senang mempunyai pasangan yang pintar, cerdas dan tentu shalihah. Tak apa jika dia kini masih terlalu keras dan fanatik, karena masih amat muda. Dan ia baru mengenal kondisi dunia islam dalam cerpen dan novel islami. Ketika ia besar sedikit, seperti kuliah nanti, ia akan menambah bacaannya. Yang tadinya sebagai permulaan adalah sastra islami milik FLP atau yang lainnya, kini ia harus membaca sastra karya ulama kita terdahulu. ulama klasik ulama indonesia yang menghaluskan budi.
Ia harus mengenal sejarah, mengenal sastra ulama. Agar tidak terkungkung pada budaya cinta dan pencarian jodoh melulu. Ia harus mengenal perjuangan, bahwa bukan kita saja yang berjuang dan memulai perjuangan, tetapi ulama kita, orang kita terdahulu sudah memulai perjuangan ini, yang bahkan jauh lebih hebat. Kita jadi rendah hati, menghargai karya ulama kita dengan kehalusan budi.
ia harus mengenal siapa itu Hamka, Mohamad Natsir. Bahwa partai islam bukan hanya PKS, tapi yang pertama adalah Masyumi. Mengenal tokohnya, siapa itu Anwar Harjono. Coba kita tanya, kenal tidak dengan beliau-beliau ini.
Mari kita mulai budayakan membaca buku yang bermutu. ketika kita sudah terbiasa membaca buku yang bermutu dan bagus maka kita akan malu ketika membaca buku yang tidak bagus. Ketika sudah mulai berat membaca buku sejarah atau pemikiran karya ulama, bolehlah kita selingi membaca buku yang ringan karya anak-anak tarbiyah yang masih bermanfaat, seperti belajar bagaimana menikah yang sesuai syariat. Saya pun begitu, selain buku pemikiran, saya punya koleksi buku tentang pernikahan, semisal buku karya Mas Udik Abdullah. Sebutlah “Teman dalam Penantian”, “Bila Hati Rindu Menikah”, atau karya Zainal Abidin yang berjudul “Cerdas Mencari Jodoh”, hingga Trilogi “Kupinang Engkau Dengan Hamdalah” karya Fauzil Adhim.
Maka hai para pemuda, teruntuk para akhwat, banyak-banyaklah membaca buku agar wawasanmu semakin luas. Sastra islami angkatan 90-an memang penting, tapi hanya untuk permulaan, cocok untuk remaja seusia SMP-SMA, atau mahasiswa tahun pertama. Semester selanjutnya tambahlah bacaan yang bukan hanya tentang pergaulan lawan jenis, harus berkembang. Sejarah adalah penting, untuk mengenal tokoh ulama dan pemikirannya. Ingin menikah maka bacalah buku tentang pernikahan, tidak sekedar menikah untuk memenuhi sunnah yang menunaikan separuh agama. Maka anda akan mengetahui laki-laki yang berbobot, yang mana yang pantas dan tidak pantas untuk dijadikan teman, terutama teman dalam hidup membangun rumah tangga.
Warsito
Masjid UI, 27 Ramadhan 1436
Bagi sebagian remaja di indonesia khususnya yang tumbuh di lingkungan pesantren modern, cerpen dan novel islami adalah bacaan sehari-hari. Penulis cerpen dan novel, atau biasa disebut dengan sastra islami yang dikenal biasanya adalah angkatan 90-an. Sebutlah Pipiet Senja, Izzatul Jannah, Gola Gong, Asma Nadia, hingga novelis Azzura Dayana. Kebanyakan adalah hasil binaan dari apa yang disebut dengan Forum Lingkar Pena. penulis yang hingga kini masih eksis dari angkatan tersebut adalah 2 kakak beradik yaitu Helvy Tiana Rosa dan pendiri Forum Lingkar Pena (FLP) Asma Nadia. Penerbit dari sastra islami tersebut juga mempunyai penerbit tersendiri, yang terkenal adalah penerbit Pro-U media, Era Intermedia dan Gema Insani Press.
Kumpulan Cerpen Islami |
Saya dulu adalah salah satu penikmat sastra islami angkatan itu. sekitar tahun 2005 hingga tahun 2010 sastra islami ini masih bermunculan karya baru yang khas. Dikutip dari sastra33.blogspot.com, bahwa sastra islami angkatan ini memiliki warna tersendiri. Penulis sastra Islami cenderung terlalu fokus pada amanat yang akan disampaikan. Menurut penulisnya, yaitu Sukrisno Santoso, sastra islami angkatan ini mereduksi nilai estetika sastra. “Akibatnya, amanat tersebut disampaikan secara eksplisit, baik melalui teks Al-Qur’an dan hadits maupun melalui dialog tokoh. Maka, yang terjadi adalah para pembaca tinggal memungut –tanpa berpikir dan merenung– amanat yang sudah eksplisit tersebut. Di sinilah nilai estetika sastra dari novel semacam itu tereduksi” (Sukrisno Santoso, 2011).
Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang terkenal dengan nama singkatannya, yaitu HAMKA adalah contoh seorang ulama yang mengarang novel yang tidak kehilangan nilai estetika sastranya. Novel Di Bawah Lindungan Ka’bah menyuguhkan cerita yang sangat menarik yang mampu membuat pembacanya merenung serta memetik hikmah dan amanatnya. Disinilah letak perbedaan antara sastra islami karya lama seperti Hamka dengan sastra islami angkatan 90 hingga 2000-an.
Tapi bukan dari sisi itu yang ingin saya bahas, karena saya bukanlah anak sastra dan juga belum mempunyai karya sastra seperti mereka, maka saya merasa tidak berhak untuk mengkritiknya.
Sastra islami FLP dengan sasaran pembaca adalah para remaja muslim, maka tema yang seringkali muncul adalah tentang dakwah ala Rohis di SMA atau LDK di Universitas. Dan biasanya dibumbui oleh warna warni kisah cinta dan tentang lika-liku perjalanan mendapatkan jodoh. Disinilah letak perbedaan output itu amat kentara. Bagi pembaca umur SMP hingga SMA, maka biasanya yang ia dapatkan semangat untuk mengimplemetasikan sifat-sifat yang digambarkan oleh tokoh utama dalam sastra islami. Ghadil Bashar, menjaga jarak dengan lawan jenis, tidak berjabatan tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram adalah sifat khas yang ditekankan pada sastra islami angkatan ini. Dan memang baik untuk menjaga akhlaq remaja muslim. Outputnya jelas, ada yang benar-benar mempraktikkanya. Dan ada juga yang sok ke-akhi akhian yang pada akhirnya hanya untuk mendekati lawan jenis. Pembaca jenis ini hanya tertarik pada kisah cinta dan jodoh saja. Ia seperti laki-laki muslim (biasanya disebut ikhwan) yang “kekurangan cinta”. Kekurangan cinta yang hingga akhirnya ia mencari pelampiasan kekurang cintaan itu kepada wanita muslimah (akhwat).
Bagi pembaca yang memang sudah dilatar belakangi pendidikan agama islam, ia akan benar-benar meresapi pesan akhlaq yang terkandung dalam sastra islami tersebut. Ia sudah mendapat bimbingan dari ustadz/ustadzah, ditambah lagi membaca sastra islami itu, maka semakin mantaplah akhlaknya.
Tetapi tidak bisa dipungkiri sastra islami angkatan ini jika di cermati dengan baik memang sebagiannya terlalu membuai pembaca. kisah-kisah itu terlalu indah, kisah cinta dan pencarian pasangan hidup yang ideal, sholeh dan sholehah adalah terlalu jauh dari kenyataan kondisi remaja muslim yang ada. Saya pikir, hal ini membuat para pembaca yang benar-benar menerapkan pesan akhlaq itu kemudian merasa “dibohongi”. Sebutlah novel Birunya Langit Cinta karya Azzura Dayana. Dikisahkan dalam novel tersebut seorang Dey, adalah aktivis Rohis di sebuah Sekolah Menengah Atas tempatnya belajar. Ia yang akhwat itu begitu taat pada norma agama, pengetahuan islamnya luas, dan menerapkan akhlaq islami yang jauh dari maksiat dan begitu ke-ukhti ukhtian. Berusaha menjauhi maksiat, hingga ia akhirnya mendapatkan pasangan dan menikah. Kisahnya indah, endingnya pun indah. Dan memang ending yang indah itu hanya ada dalam cerita saja.
Ada sebagian pembaca remaja itu, yang ketika masih SMP-SMA menjaga akhlaqnya. Hingga ia menemukan fakta bahwa kenyataan di lingkungan nyata tidaklah seindah cerpen dan novel islami yang ia baca. Ia perlu menyadari bahwa hal tersebut hanya ada dalam sastra islami fiksi. Akhlaq temannya, teman dari teman-temannya, teman dari teman-temannya lagi, atau ustadznya sendiri bahkan, tidak semua taat seperti dia.
Ia harus menerima dan toleran terhadap temannya, ia harus lebih longgar dalam menyeleksi temannya. Karena, tidak semua temannya itu mengerti pergaulan ikhwan-akhwat. Atau bahkan temannya itu sama sekali tidak membaca sastra islami.
Dan remaja yang taat ini, kemudian inginnya mendebat semua orang, terutama teman-temanya. Ia akan senang sekali jika teman-temannya menjauhi maksiat seperti dirinya. Ia senang beradu argumen dan menunjukan kepintaranya dan wawasanya tentang adab dan akhlaq dalam islam. Dan saya katakan, akhwat semacam ini adalah dambaan para ikhwan. Percayalah, ikhwan itu akan senang mempunyai pasangan yang pintar, cerdas dan tentu shalihah. Tak apa jika dia kini masih terlalu keras dan fanatik, karena masih amat muda. Dan ia baru mengenal kondisi dunia islam dalam cerpen dan novel islami. Ketika ia besar sedikit, seperti kuliah nanti, ia akan menambah bacaannya. Yang tadinya sebagai permulaan adalah sastra islami milik FLP atau yang lainnya, kini ia harus membaca sastra karya ulama kita terdahulu. ulama klasik ulama indonesia yang menghaluskan budi.
Contoh Buku Pemikiran Milik Penulis |
Ia harus mengenal sejarah, mengenal sastra ulama. Agar tidak terkungkung pada budaya cinta dan pencarian jodoh melulu. Ia harus mengenal perjuangan, bahwa bukan kita saja yang berjuang dan memulai perjuangan, tetapi ulama kita, orang kita terdahulu sudah memulai perjuangan ini, yang bahkan jauh lebih hebat. Kita jadi rendah hati, menghargai karya ulama kita dengan kehalusan budi.
ia harus mengenal siapa itu Hamka, Mohamad Natsir. Bahwa partai islam bukan hanya PKS, tapi yang pertama adalah Masyumi. Mengenal tokohnya, siapa itu Anwar Harjono. Coba kita tanya, kenal tidak dengan beliau-beliau ini.
Mari kita mulai budayakan membaca buku yang bermutu. ketika kita sudah terbiasa membaca buku yang bermutu dan bagus maka kita akan malu ketika membaca buku yang tidak bagus. Ketika sudah mulai berat membaca buku sejarah atau pemikiran karya ulama, bolehlah kita selingi membaca buku yang ringan karya anak-anak tarbiyah yang masih bermanfaat, seperti belajar bagaimana menikah yang sesuai syariat. Saya pun begitu, selain buku pemikiran, saya punya koleksi buku tentang pernikahan, semisal buku karya Mas Udik Abdullah. Sebutlah “Teman dalam Penantian”, “Bila Hati Rindu Menikah”, atau karya Zainal Abidin yang berjudul “Cerdas Mencari Jodoh”, hingga Trilogi “Kupinang Engkau Dengan Hamdalah” karya Fauzil Adhim.
Buku Pernikahan |
Maka hai para pemuda, teruntuk para akhwat, banyak-banyaklah membaca buku agar wawasanmu semakin luas. Sastra islami angkatan 90-an memang penting, tapi hanya untuk permulaan, cocok untuk remaja seusia SMP-SMA, atau mahasiswa tahun pertama. Semester selanjutnya tambahlah bacaan yang bukan hanya tentang pergaulan lawan jenis, harus berkembang. Sejarah adalah penting, untuk mengenal tokoh ulama dan pemikirannya. Ingin menikah maka bacalah buku tentang pernikahan, tidak sekedar menikah untuk memenuhi sunnah yang menunaikan separuh agama. Maka anda akan mengetahui laki-laki yang berbobot, yang mana yang pantas dan tidak pantas untuk dijadikan teman, terutama teman dalam hidup membangun rumah tangga.
Warsito
Masjid UI, 27 Ramadhan 1436
Tidak ada komentar:
Posting Komentar