Oleh: Warsito
Tahun 2015 lalu kampus STT-NF memulai program mentoring
gabungan. Dimulai semester genap lalu dan kini telah memasuki kegiatan yang
kedua. Kegiatan ini dimaksudkan untuk membekali para mahasiswa sebelum memulai
kembali kegiatan perkuliahan. Meski tidak dihadiri oleh mahasiswa baru, yaitu
hanya diikuti oleh mahasiswa tingkat 2, 3 dan 4, tetapi kegiatan yang
dilaksanakan pada hari Rabu (16/09) lalu ini cukup banyak yang mengikutinya.
Bertempat di Auditorium PPSDMS Regional 1 Wilayah Jakarta,
Ust. Musholli menyampaikan nasihat-nasihatnya kepada para mahasiswa. Seperti
biasa, beliau menyampaikan ceramah yang selalu segar, menyentuh dan sesekali
diiringi dengan letupan-letupan tawa. Ketua Yayasan Nurul Fikri ini memberi
pesan bahwa manusia itu akan lebih disenangi jika ia berlaku lemah lembut.
Beliau mengibaratkan seorang bayi, manusia yang tanpa dosa akan cenderung
menyenangkan. Lain halnya dengan orang-orang yang hatinya diliputi oleh
kebencian dan perilakunya kasar, ia akan dijauhi oleh manusia di sekitarnya.
Demikian pesan beliau.
Berjiwa Besar,
Berhati Lapang
Orang yang beruntung adalah orang yang mampu mengoptimalkan
kebaikan, dan meminimalisir keburukan. Demikian pula sebaliknya, orang yang
rugi adalah ia yang enggan berbuat baik. Hal tersebut merupakan tafsir surat
Asy-Syams ayat 9 dan 10 yang beliau paparkan. Kemudian beliau mengutip arti
dari ayat tersebut yaitu; “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa
itu dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. Manusia lahir dengan
memiliki dua potensi, yaitu potensi malaikat dan potensi syetan. Maka sudah
seharusnya kita mengoptimalkan potensi malaikat ini. Hal senada pernah penulis
dengar, bahwa malaikat amat iri kepada manusia, karena sebagian manusia itu ada yang amalan ibadahnya melebihi
malaikat. Dan terkadang iblis merasa malu, ketika melihat sebagian manusia
ternyata ada yang lebih buruk perbuatanya dibanding iblis ini.
Lebih jauh Ust. Musholli kemudian menyampaikan tentang
manusia yang berjiwa besar dan manusia yang berjiwa kerdil. Manusia yang
berjiwa besar, menurut beliau, ialah manusia yang lebih lapang dan siap ketika
menerima goncangan. Setiap musibah, cobaan dan masalah yang datang kepadanya,
ia hadapi dengan tenang dan lebih menerima. Ia akan memandang suatu masalah
sesuai dengan kadar masalah tersebut. Tidak membesarkan suatu masalah yang
kecil. Pun sebaliknya, manusia yang jiwanya kerdil, ia tidak siap mengatasai
masalah yang datang kepadanya. Ia cenderung memandang semua masalah menjadi
besar, masalah yang hakikatnya amat sepele kemudian ia besar-besarkan. Kemudian
beliau memberi contoh, mengenai kejadian yang sebenarnya kecil tapi banyak yang
meresponnya secara berlebihan. Seperti nilai tukar rupiah yang anjlok dan nilai
dollar naik dan sebagainya.
Maka bukan tidak mungkin, manusia ini bisa berubah ke arah
yang lebih baik lagi. Karena manusia terlahir dengan dua potensi yang telah
dipaparkan diatas. Sudah saatnya kita memulai memperbaiki diri. Sehingga
orang-orang disekitar kita bisa lebih menyukai dan menerima kehadiran kita
setiap saat. Orang yang berjiwa lemah lembut, maka wajahnya terlihat lebih
bersinar dan terlihat menyenangkan. Hal ini karena wajah itu memancarkan
kesucian jiwanya sebagaimana Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Wajah merupakan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala, tetapi jiwa yang bersih akan tergambarkan
lewat wajah itu, yang biasa disebut dengan istilah Inner Beauty.
Kisah Pemabok yang
Ingin Shalat Subuh
Sudah jamak diketahui bahwa orang-orang Betawi memiliki
kultur humor yang cerdas. Setiap budaya di Indonesia memang mempunyai
lawakan-lawakan yang baik. Sebutlah orang-orang Sunda, Madura, Papua dan Jawa.
Lawakan yang tetap menjaga pola pikir kita. Bukan jenis lawakan yang sering
muncul di Televisi saat ini, lawakan yang rendah. Lawakan atau humor yang baik
inilah yang juga dimiliki oleh orang Betawi. Salah satunya disampaikan oleh
Ust. Musholli yang juga keturunan asli Betawi ini. Yaitu kisah tentang seseorang
yang sedang mabuk, tetapi ia ingin ikut sholat subuh. Ketika ia sudah masuk
masjid, ia dicegah oleh salah seorang jama’ah. Kemudian terjadilah dialog
antara si pemabok dan salah seorang jama’ah sholat subuh itu.
A (pemabok)
B (salah seorang jama’ah)
A: (masuk masjid)
B: “Lu mau ngapain?”
A: “Mau sholat shubuh lah”
B: “Pan lu lagi mabok, ya ngga boleh sholat shubuh lah”
A: “Engga gua ngga mabok ko, gua mau sholat shubuh”
B: “Coba sini gua tes dulu”
A: “Yaudah”
B: “Sholat shubuh berapa rakaat?”
A: “….nggg…” (mikir keras, @#$%??? Senyum senyum….mesem
mesem….#$%%^… dengan haqqul yakin lalu pemabok itu menjawab) “ya tiga rakaat
lah”
B: “Ah lu lagi mabok lu, udah sono pulang aja”
Dengan sedikit bingung si pemabok itupun pulang. Dalam
perjalanan pulang, ia bertemu si Ahmad dan terjadilah dialog:
A : “Mat, mau
kemane lu?”
Ahmad: “Mau sholat shubuh”
A : “Coba gua
tanya dulu ya, sholat shubuh itu berapa rakaat?”
Ahmad: “Ya dua rakaat lah”
A : “Yah
mending pulang aja deh, gua yang jawab tiga aja disuruh pulang, apalagi cuma
dua”
Ahmad: “….@##$%%%$%#@!....”
Hikmah dari cerita diatas adalah bahwa niat yang baik, harus
dengan cara yang baik pula. Dan mabok itu tidaklah baik, ia adalah salah satu
sumber dari kejahatan lainnya. Dikarenakan saat mabok itu akal si pemabok tidak
bisa ia kendalikan. Ia tidak bisa mengucapkan kata-kata yang baik dan tidak
mengerti apa yang ia ucapkan sendiri. Begitulah, meski kita tidak bisa membuat
semua orang akan menyukai kita, tetapi melakukan perubahan untuk tetap berbuat
baik, berjiwa besar dan mengoptimalkan kebaikan, juga menjauhi perbuatan buruk
dan kasar harus senantiasa diusahakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar