Di Dalam Gubuk Orang-orang yang Menderita Karya Musthafa Luthfi al-Manfaluthy (dokumentasi pribadi) |
Oleh: Warsito
Buku ini adalah salah satu karya
Musthafa Luthfy al-Manfaluthy (selanjutnya al-Manfaluthy saja) yang diterbitkan
oleh Penerbit Bulan Bintang. Buku ini dicetak tahun 1979, sangat jadul.
Cerpen-cerpen al-Manfaluthy dalam buku ini bagus secara kerunutan cerita dan
enak dibaca. Beliau menyajikan cerita dengan gaya yang menarik. Tidak aneh jika
karya-karya al-Manfaluthy kemudian bisa masuk ke Indonesia melalui terjemahan
dan kemudian bisa dibaca secara luas.
al-Manfaluthy dikenal sebagai sastrawan
dan penyair yang tetap mempertahankan identitas sastra timur. Dalam karyanya
akan banyak kita temui pesan-pesan mulia yang sesuai dengan syari’at Islam.
Beliau seringkali mengkritik akhlak yang tidak sesuai dengan syari’at Islam
yang seharusnya tidak dilakukan oleh ummat Islam. Mungkin karena pengaruh
kondisi masyarakat saat itu sehingga beliau mengkritiknya, atau memang gaya
penulisan beliau yang khas seperti itu.
Salah satu pesan menarik yang saya
temui dalam buku ini yaitu dalam cerpen yang berjudul Di Dalam Gubuk Orang-Orang
yang Menderita. Cerpen ini menceritakan tentang kemiskinan yang dialami oleh
sepasang suami istri. Yang seorang perempuan bernama Mary, istri dari seorang
nelayan yang bernama Philip. Meski kemiskinan menjerat kehidupan mereka, tetapi
hal itu tidak membuat mereka melupakan akhlak yang baik. Kepedulian kepada
sesama tetap mereka pegang secara teguh. Hal tersebut mereka buktikan dengan
mengasuh dua orang anak kecil yang telah yatim piatu. Meninggalnya kedua orang
tua mereka secara tragis membuat Mary iba dan memutuskan untuk merawat dan
membesarkan mereka. Meskipun Mary juga mempunyai dua orang anak yang masih
kecil pula, dan mereka juga dalam kesusahan dalam membesarkan kedua anaknya
tersebut, tetapi hal itu rupanya tidak menjadi hambatan untuk melaksanakan niat
mulianya itu. Kemuliaan hati Mary mendapat sambutan yang baik dari sang suami
Philip. Berkat kepedulian mereka itulah kemudian hati mereka menjadi bahagia
karena telah mengambil keputusan yang tepat.
Dalam cerita ini al-Manfaluthy ingin
menyampaikan bahwa di dalam gubuk orang-orang yang menderita masih ada rasa
peduli terhadap sesama. Sudah sepatutnya hal tersebut dicontoh oleh semua orang
khususnya mereka yang berasal dari golongan berada. Kritik sosial dari cerita
ini adalah untuk para orang-orang yang berada di pemerintahan yang memegang
jabatan, juga untuk orang-orang golongan menengah ke atas. Sudah selayaknya
mereka tak acuh atas kehidupan para nelayan yang miskin. Sudah saatnya para
nelayan dan orang-orang miskin itu dibantu dan jangan menutup mata atas
penderitaan mereka.
Pesan menarik lainnya yaitu dari cerpen
yang berjudul Hari Raya. Cerpen ini berada di nomor urut dua dalam daftar isi
buku ini. al- Manfaluthy menulis bahwa pada saat malam hari Raya datang, maka
terbitlah dua bintang: bintang kebahagiaan dan bintang kesedihan.
“Yang telah menyiapkan pakaian dan
makanan yang bermacam-macam mainan untuk anak-anak mereka, dan hidangan yang
lezat untuk tamu-tamu mereka. Pada malam hari Raya itu mereka tidur dengan
nyenyaknya, dibuai oleh mimpi-mimpi yang indah mengenai sekalian anggota
keluarganya, seolah-olah mimpi-mimpi itu beterbangan di sekitar rumah-rumah
mereka, seperti burung merpati yang beterbangan di sekitar taman bunga yang
menghijau. Sedang bintang yang kedua terbit untuk orang-orang yang malang, yang
melewatkan malam hari Raya itu dengan berbaring di tempat tidur yang rasanya
panas seperti bara, merintih disana dengan ratapan yang dapat menyebabkan
hancurnya hati, dan batu yang keras pun dapat meleleh, karena sedih memikirkan
anak-anak mereka, meminta dengan tangan dan matanya, apakah yang sudah
disediakan oleh ayah-ibunya untuk menghadapi hari Raya itu, entah pakaian yang
akan dapat mereka banggakan di hadapan teman-temannya, atau mainan bagus-bagus
untuk menghias meja tamu mereka…..sedang ayah-ibunya hanya dapat berjanji dan
berjanji…..walaupun nyatanya janjinya itu tak kunjung ditepati.”
al-Manfaluthy kemudian memberikan
sebuah pesan nasihat,
“Maukah gerangan orang-orang yang
berbahagia itu mengulurkan tangan kebajikan dan baik hatinya kepada
saudara-saudaranya, melimpahkan sedikit kebahagiaan yang mereka terima sebagai
pemberian Ilahi, agar dengan demikian mereka mencetak ukiran kebaikan dan peri
kemanusiaan untuk dirinya…”
Beliau memberi pesan agar kita tidak
melupakan orang-orang miskin, terutama anak-anak mereka. Ketika hari Raya itu
tiba, mereka juga menginginkan banyak hal seperti yang dirasakan oleh anak-anak
lainnya. Baju baru, mainan dan juga hidangan makanan lezat..
Dalam dua penggalan cerita tersebut
kita dapati banyaknya pesan moral yang mulia dari seorang al-Manfaluthy. Sastra
timur semacam ini kini mulai jarang kita jumpai, baik dari segi keindahan
bahasa maupun kritik sosial mengenai kondisi masyarakat saat ini.
al-Manfaluthy dan Buya HAMKA
al-Manfaluthy merupakan sastrawan Mesir
yang karyanya banyak dibaca dan menjadi rujukan Buya HAMKA dalam membuat novel.
Sastrawan Mesir yang lahir pada 1876 dan meninggal tahun 1924 ini dikenal luas
dan karyanya diakui banyak kalangan. Terbukti Buya HAMKA berhasil membuat
beberapa novel yang bagus dan tetap hidup hingga sekarang. Sebut saja novel
Dibawah Lindungan Ka'bah yang sudah masuk layar lebar, Merantau ke Deli dan
Tenggelamnya Kapal van der Wijck yang juga telah dibuat filmnya.
Khusus novel Tenggalamnya Kapal van der
Wijck karya Buya HAMKA, Pram menyebutnya sebagai sebuah plagiasi. Novel
Tenggalamnya Kapal van der Wijck disebut mirip sekali dengan novel Magdalena
versi Arab karya al-Manfaluthy. Pram yang Lekra sudah sejak dalam pikiran itu,
bersitegang dengan para sastrawan Manifesto Kebudayaan. HB. Jassin mewakili suara lembaga tersebut, beliau beserta kolega membela
Buya HAMKA dan membantah fitnah bahwa novel tersebut plagiat. Mereka saling adu
argumen lewat surat kabar. Perang intelektual lewat tulisan yang wajar karena
memang keduanya memiliki kualitas.
Terlepas dari polemik sastra yang
disebut-sebut sebagai polemik sastra terbesar sepanjang sejarah sastra di
Indonesia tersebut, bagaimanapun juga al-Manfaluthy telah membuktikan diri
bahwa karyanya memang patut menjadi rujukan dalam membuat sebuah karya sastra
yang bercirikan sastra timur atau Islam. Sastra Islam yang menyampaikan pesan
moral atau akhlak yang mulia membuat nilai-nilai Islam akan lebih meresap lewat
cerita-cerita pendek atau novel yang disajikan sastrawan sejati seperti
al-Manfaluthy. Hal ini diharapkan bisa memperbaiki kondisi masyarakat yang
sedang mengalami penurunan moral Agama.
Saat ini sosok seperti al-Manfaluthy
dan Buya HAMKA belum lagi muncul. Ulama sekaligus sastrawan besar. Mungkin
penerus atau penganut sastra Realisme-Sosialis ala Pram masih terus tumbuh dan
memiliki sosok dan wakil mereka hingga saat ini. Tapi belum ada lawan dari
ummat Islam, yang menjadi wakil dari sastra timur atau sastra Islam. Sampai
saat ini kita masih menunggu sastrawan yang lahir membawa kebangkitan sastra
timur yang sangat bercirikan Islam seperti al-Manfaluthy ini. Karena kita telah
bosan memamah sastra yang terpengaruh oleh sastra Barat yang penuh dengan tragedi.
Margonda, 18 April 2016
Mau jual ga mas.. aku suka bgt krgn mustafa.. koleksiku hanya itu aja yg blon ada. Mksh sblmnya
BalasHapusMaaf baru balas, buku ini masih banyak di Penerbit Bulan Bintang Jakarta, silahkan cari kontaknya soalnya saya ga punya hehe, atau langsung datang ke tempatnya juga bisa.
Hapus