Rabu, 03 Desember 2014

Makna Dīn dan Religion Menurut Syed M. Naquib al-Attas

Rangkuman Diskusi Pekanan DISC Masjid Universitas Indonesia 
15 Dzulqoidah 1435 AH/10 Oktober 2014 M
 
Pemateri    : Tri Shubhi Abdillah
Notulen      : Warsito
Narator      : Yogi T. Rinaldi

Di zaman sekarang, sepertinya perlu ditayangkan kembali ta’rif (definisi) agama secara benar. Pasalnya, sudahlah umat tidak memahami ta’rif agama secara benar, ta’rif agama itu dikaburkan dan disalahartikan oleh berbagai pemikiran yang menyalahi konsep-konsep asasi dalam Islam.

Di era kebebasan berpendapat seperti sekarang ini, setiap orang merasa pintar dan memiliki pendapat masing-masing terhadap sesuatu. Sikap anti otoritas kemudian merajalela, yang pada akhirnya melahirkan relativisme, terutama dalam hal memahami makna agama. Di dunia Barat, seorang sepakbola holic bisa mengatakan “It’s like Religon”, seorang sosiolog mengatakan bahwa agama adalah fanatisme, seorang marxis mengatakan bahwa agama adalah candu, bahkan seorang selebritis berpendapat “My Religion is song, sex, sand and campagne”. Kini di Indonesia, pandangan-pandangan seperti itu sering kali terlontar dari mulut orang-orang yang dipanggil “cendekiawan”; semua agama dianggap sama atau agama hanya sekadar kumpul dogma kolot. Pandangan Barat digunakan sebagai cara pandang melihat Islam.  Sedangkan realita di masyarakat awam, agama jadi sekadar kumpulan ritus saja. (Zarkasyi, 2012: 20)

Makna Dīn  
Ada baiknya, pembahasan mengenai makna agama (dīn) dimulai dengan menguraikan terlebih dahulu makna kata dīn yang berasal dari bahasa Arab. Sebab, menurut Al-Attas, makna dasar yang terkandung di dalam kata dīn membentuk suatu sistem makna semantik yang saling terkait. Istilah dīn (دين) berasal dari akar kata DYN dalam bahasa Arab yang memiliki banyak pemaknaan. Makna utama dalam kata dīn dapat disimpulkan menjadi empat makna: (1) keadaan berutang; (2) penyerahan diri; (3) kuasa peradilan; (4) kecenderungan alami. Pada penjelasan berikut ini akan dijelaskan makna-makna tersebut secara singkat dan kemudian menempatkannya dalam konteks yang sesuai. Hal tersebut membuat gambaran akhir kesatuan makna sesuai dengan yang dimaksud, di mana ia membawa maksud keyakinan, kepercayaan, perilaku, dan ajaran yang diikuti oleh seorang muslim secara individu maupun umat yang keseluruhannya terjelma sebagai agama yang disebut dengan Islām. (Al-Attas, 2011: 63-64)

Kata kerja Dāna (دان) yang berasal dari kata dīn bermakna keadaan berutang. Keadaan seorang yang sedang berutang (dā’in), semestinya menundukkan dirinya, yaitu berada dalam keadaan berserah dan taat kepada hukum dan aturan dalam berutang, dalam keadaan tertentu juga terhadap pemberi utang yang juga dipanggil sebagai dā’in. Pengertian ini juga membawa maksud bahwa seseorang yang dalam keadaan berutang berarti mempunyai suatu kewajiban atau dayn (دين). Kondisi tersebut yakni dalam keadaan berutang secara tabiinya berkaitan dengan suatu penghakiman atau daynūnah (دينونة), dan pemberian hukuman atau idānah (إدانة). (Al-Attas, 2011: 64-65)

Seluruh kata beserta makna tersebut yaitu dā’in (yang berutang dan pemberi utang), dayn (kewajiban), daynūnah (penghakiman) dan idānah (pemberian hukuman) merupakan kesepaduan sistem semantik yang muncul dari kata kerja dāna yang pada kehidudan nyata hanya  dapat terjadi dalam sebuah masyarakat yang tersusun dan terlibat dalam kegiatan perdagangan yang disebut dengan mudun (مدن) atau madā’in (مدائن). suatu kota atau madīnah (مدينة) yang memiliki seorang hakim, penguasa, atau pemerintahan yang disebut dayyān (ديّان). Kemudian, dari penggunaan kata yang berasal dari kata dāna, kita dapat melihat suatu gambaran dalam fikiran kita bahwa hal ini berkaitan dengan kehidupan suatu peradaban atau tamaddun (تمدن) yang berasal dari kata maddana (مدّن), suatu kehidupan bermasyarakat yang diatur oleh hukum, peraturan, peradilan dan otoritas. kata maddana bermakna membangun atau membina kota, membangun peradaban, memurnikan dan memanusiakan. Sedangkan tamaddun bermakna peradaban dan perbaikan dalam budaya sosial. (Al-Attas, 2011: 65-66)

Dari pemaknaan utama yakni keadaan berutang, kita dapatkan pemaknaan yang berkaitan dengannya, seperti: merendah diri, mengabdi, menjadi hamba; dan dari pemaknaan utama seorang hakim, penguasa dan pemerintah kita memperoleh makna lain seperti: yang besar, yang perkasa, dan yang kuat; seorang tuan adalah seorang yang ditinggikan derajatnya dan mulia. Lebih lanjut juga makna; peradilan, penghakiman, atau pembalasan (pada suatu waktu yang ditentukan). (Al-Attas, 2011: 66)

Konsep-konsep dari makna istilah-istilah di atas, yang secara asasi berpusat pada makna dīn yang tentunya ditegakkan pada suatu madīnah, menuntut lahirnya sebuah gaya hidup atau cara berperilaku sesuai dengan yang dianjurkan oleh hukum, peraturan, peradilan otoritas tertentu. Gaya hidup tersebut akan dianggap normal apabila sesuai dengan konsep di atas. Keadaan normal ini juga suatu bentuk kecenderungan alami manusia yakni kecenderungan membentuk suatu komunitas atau kelompok masyarakat yang taat kepada hukum, serta berusaha mewujudkan pemerintahan atau suatu kota raya (cosmopolis) yang adil. (Al-Attas, 2011: 66-67)

Menurut Al-Attas, sangatlah penting melihat secara tajam hubungan yang penting antara konsep dīn dan madīnah yang berasal dari dīn. Dīn berhubungan dengan seorang beriman secara individu, dan madīnah dalam konteksnya secara kolektif atau ummat. Hal ini dapat dilihat dalam sejarah bergantinya nama kota Yasthrib menjadi madīnah. Kita harus melihat bahwa Al-Madīnah disebut dan dinamakan demikian karena di sanalah dīn yang benar ditegakkan untuk umat manusia. Di sana orang beriman menghambakan diri di bawah otoritas dan kuasa hukum Nabi Saw. sebagai dayyān. Juga di sanalah kesadaran akan berutang dengan Allah mengambil bentuknya yang pasti, dan cara serta kaidah ‘pembayarannya’ yang disetujui mulai diterangkan dengan jelas. (Al-Attas, 2011: 65)

Kata dīn ini kemudian maknanya diikat dengan kata Islām sehingga menjadi suatu frasa Dīn al- Islām (Agama Islam). Kata Islām sendiri, memiliki maknanya ‘berserah’, ‘selamat’ dan ‘pasrah’. Sebagaimana firman Allah, bahwa sesungguhnya agama (dīn) yang benar di sisi Allah adalah Islam. Itu juga berarti bahwa agama (dīn) yang selamat dan menyelamatkan adalah agama Islam, dan peradaban (tamaddun) yang selamat dan menyelamatkan adalah peradaban Islam.

Dari penjelasan di atas tentunya kita akan dapat mengambil beberapa kesimpulan; bahwa seorang beragama meniscayakan sebuah ketundukan, kepasrahan, penghambaan kepada tuannya yang memiliki otoritas, dalam hal ini adalah Tuhan; menerapkan dīn (agama) secara otomotis berkaitan dengan tamaddun (peradaban). Agama kemudian tidak hanya sekadar serangkaian ibadah ritual kepada Tuhan tetapi juga berkontribusi dalam membangun peradaban; keterkaitan antara agama dan peradaban dalam Islam, sebenarnya menandakan penolakan terhadap pemikiran dikotomis antara keduanya, juga sebuah isyarat bahwa sebuah peradaban dan setiap sendi kehidupan tidak boleh dipisahkan dari agama.

Sebenarnya mengapa manusia disebut dalam keadaan berutang? apa yang manusia utangi? dan kepada siapa ia berutang?.  Manusia pada hakikatnya telah berutang kewujudan (diri), budi, dan daya kepada Allah. Allah menjadikan manusia dari ketiadaan menjadi ada (baca QS. Al-Mu’minūn: 12-24).  (Al-Attas, 2001: 28)

Jika direnungkan baik-baik tentang asal-usul kita semua, maka akan kita insafi bahwa lebih kurang seratus tahun yang lalu manusia yang berada di dunia ini kini sesungguhnya tiada, dan tidak mengetahui akan keberadaannya kini. Begitu pula nasib orang lain sebelum zaman kita ini. Maka sesungguhnya perasaan berutang diri, budi dan daya itu bukan kepada kedua orang tua, karena sesungguhnya keadaan mereka pun sama dengan kita, dari tiada menjadi ada, dan keberadaannya di alam ini tiada diketahuinya. Sedangkan mengenai diri kita, telah diketahui bahwa kita tiada berkuasa menciptakan dan menyusun segala perangkat dalam diri kita. Kita tahu bahwa bukan kita yang menggerakkan, dan mengubah dari satu peringkat usia ke peringkat yang lebih tinggi, mulai dari bayi hingga tua. Sesungguhnya manusia tiada berdaya dan kuasa mengatur itu semua. (Al-Attas, 2001: 30)
Melalui perangkat akal ruhaninya, manusia yang benar-benar mengenal hakikat dirinya mengetahui bahwa bukan dirinya sendiri yang menciptkan dan menggerakkan dirinya, tetapi Yang Lain yang menggerakkannya. Dia juga harus patuh dan tidak memiliki daya untuk menolak kehendakNya. Manusia yang menyadari akan hakikat ini mengakibatkan ketundukan, keberserahan serta pengabdian kepada perintah Sang Khālik. Sang Khālik yang juga sebagai Hakim yang memberi hukuman (dayyān) memiliki kuasa mengadili dan menghukum pada suatu waktu yang diberi nama Yaum ad-Dīn. (Al-Attas, 2001: 31)

Manusia pada hakikatnya telah mengikrarkan perjanjian dengan Tuhan sebelum dirinya dilahirkan ke dunia. Perjanjian yang berlaku bagi seluruh makhluk saat masih dalam alam alastu, terutama manusia. Dalam firmannya Tuhan bertanya kepada ruh manusia, “Bukankah Aku Tuhanmu?”, maka mereka menjawab “Ya, kami saksikan!” (baca QS. Al-A’raf: 172). Inilah sifat fitrah manusia, sebelum  ternodai oleh nafsu hayawaniyah, sebagaimana dikatakan seterusnya di firman Allah yang lain, “Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, kemudian akan Kami kembalikannya  ke tempat yang serendah-rendahnya” (QS. At-Tīn: 4-5). Begitu juga telah digariskan bahwa tujuan diciptakannya manusia adalah untuk menghamba kepada Allah. (Al-Attas, 2001: 32)

Manusia yang lalai (ghāfil) akan utang diri, budi, daya, serta tugas, tanggung jawabnya, dan perjanjiannya kepada Allah dengan demikian telah menzalimi dirinya sendiri dan nasibnya adalah merugi (khusr) serta keadaannya lebih sesat daripada binatang ternak (QS. Al-A’rāf: 179). Hal tersebut berbeda dengan manusia yang tiada lupa pada utang dan perjanjiannya serta menjadikan dunia sebagai ladang amal untuk akhirat dengan melakukan amal saleh yang disebut juga dengan pinjaman yang baik (qardhān hasanah). (Al-Attas, 2001: 32)

Makna dari dīn kemudian semakin dikuatkan oleh pengibaratan Al-Quran mengenai kehidupan dunia. Al-Quran mengibaratkan dunia sebagai suatu perdagangan atau modal (at-tijārah), dan manusia sebagai orang yang berdagang yang menunaikan amanah jual beli (bai’at). Sedangkan beruntung atau ruginya (khusr) perdagangan terebut tergantung kepada pengenalannya terhadap Ilmu yang sebenarnya mengenai diri manusia, serta penunaian perjanjianya kepada Tuhan, yang sering kali disebut sebagai Pembalas (Ad-Dayyān), yang akan melakukan pengadilanNya pada Hari Pembalasan (Yaum ad-Dīn). Manusia senantiasa dalam keadaan merugi (khusr), kecuali mereka yang beriman dan beramal saleh yang disebut juga dengan pinjaman yang baik (qardhān hasanah). Pengibaratan tersebut membayangkan keadaan manusia yang berada dalam suasana berperadaban (tamaddun); lengkap dengan undang-undang dan hukum, ada pemerintah dan keadilan, norma, akhlak dan ilmu. (Al-Attas, 2001: 33)

Manusia-manusia yang menginsafi dirinya sebagai keadaan berutang dan menyerahkan dirinya kepada Allah adalah seorang muslim, sedangkan sikap sebaliknya adalah seorang yang kafir. Islam sebagai agama fitrah yakni agama yang memenuhi bawaan tabiat manusia  juga disebut kosmos. Maka manusia yang Islam (Muslim) itu bermakna manusia yang menyelaraskan dirinya dengan ketertiban yang saksama atau kosmos (Al-Attas, 2001: 36). Kόσμος /Kosmos/ berarti ‘dunia’ atau ‘alam semesta’. Ada juga  yang  mendefinisikan  kosmos  menjadi  ‘susunan’,  ‘ketersusunan  yang  baik’ sebagai lawan  dari Χάος  /khāos/  (Inggris:  chaos)  yang berarti ‘keadaan kacau balau’ (dan Bakker, 1995: 39). Keadaan khāos adalah keadaan manusia yang kufur yakni yang mengingkari dirinya daripada penyelarasan dengan kesaksamaan ‘tabiat semesta’ dan dengan demikian mangakibatkan kekacauan (khāos) terhadap dirinya. (Al-Attas, 2001: 36)

Makna Religion
Uraian yang dikemukakan di atas sudah cukup untuk menunjukkan bahwa istilah agama (dīn) dalam Islam tidak sepadan dengan agama dalam Kebudayaan Barat, atau kebudayaan lain. Istilah Religion berasal dari bahasa latin Religiō yang bermakna ‘mengikat’, akan tetapi kenyataan terhadap sikap “diikat” dan dasar-dasar “pengikatan” itu semua tidak jelas terkandung dalam istilah tersebut. Akan tetapi dalam sejarah agama Barat, yang menjelaskan sifat agamanya sebagaimana dialaminya, “pengikatan” itu dilakukan secara memaksa. Oleh sebab demikian, maka agama dianggap sebagai belenggu yang menafikan “kebebasan”. Pengikatan yang berlaku di dalam sejarah agama yang dialami kebudayaan Barat sebenarnya pengikatan manusia kepada manusia, dan penerimaan pengikatan tersebut bukanlah berdasarkan pada kerelaan diri sendiri. Oleh karena itu yang diikat akan senantiasa berontak dan menuntut kebebasannya. Dengan keadaan demikian manusia Barat menjadikannya sebagai salah satu faktor pelanggeng sekularisasi. (Al-Attas, 2001: 36)

Sejarah agama Kristen di Barat turut andil dalam memberikan pemaknaan terhadap istilah religi. Perlakuan otoriter Gereja yang membelenggu menjadi bukti pengikatan manusia dengan manusia, dan bentuk penerimaan pengikatan yang berdasarkan pada ketidakrelaan diri. Kebudayaan Barat juga memaknai agama (religion) sebagai kebudayaan, karena pada dasarnya agama yang mereka anut merupakan agama kebudayaan yakni agama yang terbentuk atas buatan  manusia yang terbina dari pengalaman sejarah, yang dilahirkan, dan dibesarkan oleh sejarah.  Kalau begitu agama di dunia ini selain Islam pada hakikatnya adalah agama kebudayaan (Al-Attas, 2001: 37). Hanyalah Islam satu-satunya agama (dīn) yang berdasarkan tanzīl (wahyu).

Oleh karena itu, tidak dapat dipadankan kata religi dengan dīn. Begitu juga memandang Islam sebagai sebuah religi seperti pandangan Barat. Seringkali istilah religi dihadirkan sebagai suatu yang universal yang bersumber dari tradisi Kristen Barat. Akibatnya, ketika diterapkan kepada Islam, Joachim Mattes menyebutnya sebagai “kristenisasi kultural secara tersembunyi” terhadap Dunia Muslim karena Islam di sini telah dipandang sebagai sebuah religi (Al-Attas, 2010: xviii). Islam adalah sebuah Ad-Dīn bukan Religi.


Rujukan:
Al-Attas, Syed M. Naquib. (2011). Islam dan Sekularisme. Bandung: PIMPIN
Al-Attas, Syed M. Naquib. (2001). Risalah untuk Kaum Muslimin. Kuala Lumpur: ISTAC
Al-Attas, Syed Farid. (2010). Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia: Tanggapan Terhadap Eurosentrisme. Bandung: Mizan
Zarkasyi, Hamid Fahmy. (2012). Misykat: Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam. Jakarta: INSISTS-MIUMI
Bakker,  Anton.  (1995).  Kosmologi  dan  Ekologi:  Filsafat  tentang  Kosmos  Sebagai
Rumah Tangga Manusia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius

Tidak ada komentar:

Posting Komentar