Oleh: Warsito*
Hampir
lupa untuk menulis, menulis sebuah ungkapan rasa keterharuan.
Menulis tentang materi mentoring gabungan "Menjernihkan Akal dan Jiwa" dari Drs. Musholi
Menyimak tausiyah
langsung dari Pak Musholi, begitu kami memanggil beliau, Ketua Yayasan Nurul
Fikri tempat penulis menimba ilmu. Ceramah mentoring gabungan yang
diselenggarakan tepat saat mahasiswa akan menyambut awal semester baru, babak
baru menuntut ilmu di STT Terpadu Nurul Fikri.
Drs. Musholi menyampaikan materi |
Siang itu, hari Rabu tanggal 25 Februari 2015 di Aula PPSDMS Regional Jakarta
Drs. Musholi Menyampaikan materi mentoring gabungan. Mendengarkan ceramah
beliau kita akan seperti dibawa kembali kemasa-masa dakwah tahun 70-an. Dalam
dan mengena. Masa yang saat itu dakwah Ikhwanul Muslimin atau yang kita kenal
dengan dakwah Tarbiyah menyebar ke seantero dunia termasuk Indonesia. Masa
disaat dakwah kampus mengalami perkembangan yang signifikan. Pembahasan
mengenai kejernihan pikiran dan jiwa dikemas dengan runtut dan sistematis oleh
beliau. Drs. Musholi adalah alumni Universitas Indonesia yang juga aktifis
Masjid Arief Rahman Hakim angkatan 78. Saat itu Prof. Rasjidi adalah selaku
Imam Masjid ARH UI sekaligus guru spiritual aktifis Masjid ARH UI. Prof.
Rasjidi adalah Menteri Agama pertama Republik Indonesia, Ulama yang dikenal
vokal mengkritik pemikiran liberal yang berkembang di Indonesia. Dengan begitu
maka Drs. Musholi adalah murid langsung dari Prof. Rasjidi. Tidak heran bila
cara Pak Musholi menyampaikan materi masih layaknya seorang aktifis dakwah,
pendakwah matang yang kaya pengalaman.
Konsep
jiwa adalah kandungan yang dalam tentang kejernihan alam pikiran manusia. Ia
akan didapat dengan perjuangan yang panjang. Pematangan pikiran dan
perenung-renungan. Dari sanalah seseorang bisa mendapatkan kejernihan pikiran,
akal yang sehat. Akal adalah anugerah yang besar dari Allah SWT. Sepatutnyalah
kita menjaganya dan merawatnya. Dengan akal itu manusia kemudian berani
mengambil amanah untuk menjadi Khalifah di Bumi. Mengemban amanah untuk
menerima wahyu berupa Al-Qur’an yang suci yang tidak ada satu golongan
makhlukpun di muka bumi ini yang mampu menerimanya kecuali manusia. Maka penting
bagi kita untuk selalu berakal dengan sehat dan memiliki akal yang kuat. Drs.
Musholi menyampaikan bahwa jika seseorang mempunyai akal, lalu ia gunakan untuk
selalu berpikiran yang negatif maka yang ada adalah keresahan. Kegundahan,
galau dan kesumpekan akan selalu menggelayutinya. Orang lain akan menjauh
darinya karena tak nyaman. Terutama jika orang itu orang yang sombong, orang
yang egois itu akan selalu menganggap dirinya ‘paling’ dan yang lain adalah
salah. Mengedepankan dirinya tanpa mendengar pendapat orang lain dialah orang
yang sombong. Kemudian beliau menasehati agar kita selalu menanamkan rasa
rendah hati. Rendah hati adalah sifat yang amat terpuji, orang yang rendah hati
akan selalu diterima dimanapun. Ia disenangi karena bisa menghargai pendapat
orang lain. Disinilah letak pentingnya sikap objektif dalam memandang orang
lain. Kita tidak bisa menilai orang lain sesuka hati kita. Penilaian itu harus
objektif, agar adil dan tidak timpang yang mengakibatkan sifat egosentris kita
menonjol disana. 2 hal yang menyebabkan kerusakan jiwa dan kesesatan akal adalah
menuruti hawa nafsu dan mengikuti setan, begitu beliau menyampaikan.
Kebahagiaan
didunia akan diraih dengan kejernihan jiwa dan ketaqwaan. Ada 4 hal yang perlu
ditanamkan dalam diri kita jika ingin meraih kejernihan jiwa menurut Drs.
Musholi, yaitu: 1. Rendah Hati, 2. Objektif, 3. Open Mind, 4. Moderat. Yang
bisa kita singkat menjadi kata “ROOM”. Room yang berarti ruanga mempunyai arti
filosofis, menurut Drs. Musholi bahwa ruang akan mampu menerima siapa saja,
disanalah batas-batas keegoisan dihilangkan, ia bisa menampung banyak orang. Jika
kita bisa menerapkan 4 hal tersebut maka orang-orang disekeliling kita akan
senang kepada kita. Korelasinya adalah kita menjadi banyak teman, hubungan yang
baik dengan semua orang berarti adalah 60%-70% kesuksesan telah kita raih.
Lebih
lanjut beliau menyampaikan bahwa untuk meraih kesuksesan dalam hal dunia
akhirat adalah dengan memelihara kesehatan akal. Kita akan fokus apabila
pikiran kita bersih. Pun keberhasilan dalam hal akademik hanya bisa diraih
dengan cara fokus. Dalam dunia Psikologi, antara akal, hati nurani dan jiwa itu
tidak dibedakan. Padahal, dalam Islam telah jelas mendeskripsikan perbedaan
ketiganya. Pengaruh berbeda dari ketiganya bisa kita dapatkan jika kita menilik
konsep jiwa dan hati nurani menurut islam. Jika kita ragu, maka tanyalah hati
nurani, begitu Islam mengajarkan.
Membahas
tentang konsep jiwa, penulis teringat teori Prof. Syed Naquib A-Attas. Konsep
jiwa dalam Islam menurut al-Attas jiwa adalah realitas tunggal dengan empat
keadaan yang berbeda, yaitu nafs, ‘aql, qalb dan ruh. Masing-masing terlibat
dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat kognitif, empiris, intuitif dan spiritual
[1]. Berbeda sekali dengan konsep jiwa menurut ilmu Psikologi yang notabene diusung
oleh Barat. Dalam tradisi keilmuan Barat persolaan jiwa oleh sebagian ilmuan
tidak menjadi perhatian utama, karena kebenarannya masih dianggap spekulatif
dan cenderung subjektif. Ilmu psikologi modern -yang menjadi referensi dalam
kajian kejiwaan saat ini- secara umum belum mampu mengurai secara jelas
hakikat dari diri manusia. Kajiannya hanya mampu mengurai prinsip-prinsip umum
dan gejala dari jiwa manusia yang teraktualisasikan melalui jasad. Umumnya
masih berupa kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya hipotesis dari pengalaman
seorang ilmuan atau peneliti. [2]
Penulis
hanyalah mahasiswa biasa, manusia biasa yang tak bisa lepas dari dosa. Kita
akan merasai diri kita bersalah, jika ada orang yang mau memberi nasihat.
Kedirian kita sulit untuk mengakui kesalahan manakala tiada seorangpun yang
sudi mengingtakan. Untuk itu penulis memohon untuk mau mengingatkan jika ada
kesalahan.
Dengarlah
nasihat dari Imam al-Ghazali yang ditulis dengan kata-kata indah ini: “Ketahuilah, bahwa memutuskan hubungan dengan
Allah Yang Maha Benar (al-Haqq) dengan hanya bergaul dengan manusia serta diri
sendiri, sibuk dengan perbuatan sendiri, berpaling dari aqidah yang benar
dengan berbagai ragam kehinaan yang memang merupakan kecenderungan manusia;
cinta kedudukan, harta dan dunia; membanggakan reputasi dan
popularitas,…menutup hati dengan syahwat, tidak membersihkannya bahkan bermain-main
dengannya, mempertontonkan kecantikan, membiasakan diri dengan sifat-sifat
tercela seperti dendam, iri, dengki….Cinta dunia adalah racun yang mematikan.
Hawa nafsu menyebabkan orang sombong dan terlena dengan kehidupan dunia. Kedua
hal itulah yang merusak agama. Sebagian Imam berkata, “Aku tidak akan
mengerjakan sesuatu perbuatan yang banyak diperhatikan orang, agar aku tidak
terjerumus”.” [3]
Seringnya
manusia bertindak karena manusia lain. Disanalah kedirian kita dipertaruhkan
eksistensinya. Kita bertindak sesuatu karena siapa? Kejernihan jiwa akan
membuat kita tidak bisa terpengaruh oleh orang lain. Bertindak atas kehendak
diri adalah pengejawantahan dari kejernihan jiwa karena kedirian kita atas
Allah ‘Azza wa Jalla. Kita bertindak karena perintah Allah SWT, penulis menulis
karena ingin menulis dan mengharap pahala dari-Nya.
Semoga
kedepanya Bapak Drs. Musholi lebih sering lagi memberi pencerahan kepada kami
anak didikmu. Agar kami selalu mendapat nasehat yang indah seperti kemaren.
Akhirnya
nanti entah kapan, kita jua akan kembali kepada-Nya, ingat-ingatlah puisi yang
indah dari Ibnu Sina. Tentang jiwa kita, jiwa yang selalu rindu akan kembali
kepada keharibaan-Nya.
"Nafs (jiwa) dalam jasad
itu bagaikan burung yang terkurung dalam sangkar, merindukan kebebasannya di
alam lepas, menyatu kembali dengan alam ruhani, yaitu alam asalnya.
Setiap kali ia mengingat alam asalnya, ia pun menangis karena rindu
ingin kembali." (Ibn Sina)
Referensi:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar