Senin, 17 Agustus 2015

Cerita Dibalik Gejolak Kereta Jabodetabek; KRL Commuterline dan Kekuatan Besar Kapitalis di Indonesia

Senior saya di organisasi DISC Masjid UI yang sekarang saya ikuti, yang mantan ketua HMI komsat FIB UI itu, bercerita tentang gejolak perkeretaapian di jabodetabek sejak tahun 2010-an.

Sebelum KRL Commuterline diluncurkan pada tahun 2012, kereta jabodetabek masih menyediakan kelas kereta ekonomi yang kumuh; pintu tidak ada, penuh coretan, padagang asongan, pengamen, pencopet, pengemis berkumpul dalam kereta itu. Bersama penumpang kelas menengah, mereka berdesakkan, tak membeli karcis, sampai naik ke atap kereta.

Dahulu, para pedagang dari daerah Bogor masih bebas masuk kereta membawa aneka jenis dagangan menuju Jakarta untuk mereka jajakan. Mulai dari buah buahan, asesoris, hingga sayur-mayur, bahkan binatang ternak dan topeng monyet masih bisa masuk.

Di pinggiran stasiun hingga masuk ke dalam stasiun itu, kita bisa jumpai penuh kios pedagang, salah satunya kios buku-buku di stasiun UI. Dahulu banyak pedagang buku di sana. Para mahasiswa bisa dengan mudah mendapatkan buku untuk keperluan kuliah, maupun buku untuk sekedar bacaan penambah ilmu. Hingga akhirnya diputuskanlah perombakan habis-habisan pada tatanan setiap stasiun.

Kios-kios dirobohkan, para pedagang pun kecewa dan berusaha menolak. Tapi apa lah daya mereka untuk melawan. Para mahasiswa menggelar aksi protes di stasiun UI, membela hak para pedagang yang akan direnggut kekuasaan. Teman saya mengajak seluruh civitas kampus kami di STT-NF untuk ikut turun aksi.

"Terdiamkah kalian melihat penderitaan para pedagang yang kiosnya dihancurkan, padahal kios itu adalah sumber penghasilan dan penghidupan mereka?!" teriaknya lantang di depan kelas menyeru kami. Seorang teman saya bahkan terkena dampaknya langsung. Ibunya yg notabene adalah single parent setiap pagi menjajakan koran di salah satu kios itu.

Tapi keputusan telah diambil, dan eksekusi penghancuran kios itu pun dilakukan. Para pedagang hanya bisa pasrah, kecewa dan menangis melihat kios mereka rata dengan tanah.

Sejak saat itu wajah stasiun dengan cepat berubah. Ia kini lebih nyaman, tertib dan bersih. Jauh dari kesan kumuh dan berisik teriakan para pedagang. Kios buku-buku murah yang dahulu seperti Kwitang dan Blok M itu kini hanya tinggal beberapa saja yang tetap bertahan, membuka kios mereka di gang sekitaran stasiun UI.

Kereta ekonomi yang dahulu mewarnai stasiun itu pun terkena dampaknya. Kereta ekonomi ditiadakan, diganti dengan KRL yang baru. Tak ada lagi pengamen, tak ada lagi bau pesing di kereta. Tak ada lagi pedagang dari Bogor yang ingin ke Jakarta. Mereka tidak bisa membawa barang dagangan mereka seperti sayur-sayuran, buah-buahan, hewan-hewan untuk dijual di Jakarta.

Memang kini semuanya telah lebih tertib, lebih bersih dan nyaman dibanding sebelumnya. Tapi yang membuat kita rindu adalah suasana di kereta ekonomi itu, di gerbong-gerbong yang selalu penuh dengan penumpang. Kita juga sedih memikirkan nasib para pedagang yang asal Bogor itu. Ke mana lagi mereka jajakan dagangannya? Mereka tidak bisa lagi ke Jakarta untuk berdagang. Berhenti sudah siklus itu.



Kereta Jabodetabek, KRL Commuterline
Kereta Jabodetabek, KRL Commuterline




Kita bisa bayangkan para pedagang kecil itu, yang hanya punya modal sekian puluh ribu atau sekian ratus ribu saja, harus melawan mereka yang punya uang ratusan juta bahkan milyaran. Tentu saja kalah. Kapitalisme telah membunuh mereka yang tak punya modal. Pemilik modal yanb besarlah yang menang. Mana mungkin pedagang kecil itu bisa mengubah kebijakan para pemilik modal besar?

Maka hancurlah mereka terlindas zaman atas nama kompetisi dan kapitalisme...

Senior saya bilang, ada kekuatan besar yang harus dilawan. Kekuatan ekonomi yang mengendalikan perpolitikan saat ini adalah kekuatan ekonomi yang mengerikan, sebenarnya itu. Ia tidak bisa dilawan hanya dengan wirid dan doa saja. Wirid dan doa itu penting, tapi tidak bisa jika harus melawan kekuatan ekonomi macam itu.

Berkahilah mereka para pedagang kecil
Yang hidup dari pagi ke pagi hari berikutnya. Bertahan melawan kapitalisme
Teruslah berjuang, karena dengan tidak bekerja pada kapitalisme adalah juga perlawanan..





Warsito
Margonda, 3 Juli 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar