Akhir akhir ini saya temui banyak tulisan yang berwarna kritik
sosial. Ini menarik karena ini tentang keadaan sosial saat ini, bahwa
manusia bukan sekedar mesin bernyawa yang cuma tahu tata cara mencari
uang, memilih jodoh ideal, sesekali bersenggama dengan pasangan halalan
thayyiban, informasi broadcast yang didapat dengan instan, ibadah
instan, masuk surga instan. Semua serba praktis dan instan, tiap detik
hidup telah diukur dengan ukuran tertentu, angka tertentu, praktis dan instan.
Kata sahabat saya, hidup rendah seperti itu akan membuat kemanusiaan
kita kerdil, sempit dan cebol, meski saat ini jadi dambaan sebagian
besar mahasiswa. Segala sisi kehidupan telah diisi dengan segala hal
kebendaan, meraih peningkatan taraf hidup hingga membuat manusia sedikit
demi sedikit melupakan hakikat tujuan hidup. Manusia telah mengukur
penampilan sampai ukuran tertentu. Hilang rasa juang, hilang rasa ikhlas
berjuang.
Kehidupan kemudian bagai mesin industri, hidup yang berat dengan berbagai tekanan, keharusan berkompetisi untuk saling menjatuhkan. Persaingan makanan. Banyaknya acara yang mengarah pada motivasi materialistis.
Sudah seharusnya manusia mampu merasai jalan kehidupan yang terjadi di sekeliling. Memperkuat wawasan, membaca, menulis, berdiskusi, agar semakin tajam rasa perenungan tentang kemanusiaan. Ulama kita telah mengajari bagaimana menjalani hidup, mereka orang mulia yang derajatnya telah diangkat tinggi karena terus berkontemplasi mencari perenungan yang berbuah hikmah.
Dan hikmah, tidak bisa didapat dengan cara instan, dengan cara hidup yang serba instan, macam kehidupan saat ini. melepaskan segala bentuk tekanan dari hal materi macam itu sungguh membuat pikiran menjadi lebih luas, perasaan yang lapang tanpa takut besok mau makan apa. Kita akan lebih banyak meluangkan waktu membaca buku, merenung, menulis, berfikir dan berusaha berjuang dengan makna kita sendiri, dengan orang-orang yang terlebih dahulu melakukannya, dan tentu bersama rang-orang yang tepat.
Warsito
28 Mei 2015
Kampus A, STT Terpadu Nurul Fikri
Kehidupan kemudian bagai mesin industri, hidup yang berat dengan berbagai tekanan, keharusan berkompetisi untuk saling menjatuhkan. Persaingan makanan. Banyaknya acara yang mengarah pada motivasi materialistis.
Sudah seharusnya manusia mampu merasai jalan kehidupan yang terjadi di sekeliling. Memperkuat wawasan, membaca, menulis, berdiskusi, agar semakin tajam rasa perenungan tentang kemanusiaan. Ulama kita telah mengajari bagaimana menjalani hidup, mereka orang mulia yang derajatnya telah diangkat tinggi karena terus berkontemplasi mencari perenungan yang berbuah hikmah.
Dan hikmah, tidak bisa didapat dengan cara instan, dengan cara hidup yang serba instan, macam kehidupan saat ini. melepaskan segala bentuk tekanan dari hal materi macam itu sungguh membuat pikiran menjadi lebih luas, perasaan yang lapang tanpa takut besok mau makan apa. Kita akan lebih banyak meluangkan waktu membaca buku, merenung, menulis, berfikir dan berusaha berjuang dengan makna kita sendiri, dengan orang-orang yang terlebih dahulu melakukannya, dan tentu bersama rang-orang yang tepat.
Warsito
28 Mei 2015
Kampus A, STT Terpadu Nurul Fikri
bener sob kehidupan harus dinikmati, di renungkan dan di tingkatkan ke tingkat yang lebih baik...
BalasHapus