Senin, 07 September 2015

Sekolah Mentor: Ditinjau dari Berbagai Aspeknya

 
 
Mentoring Tarbiyah
Sekolah Mentor: Mempersiapkan Mentoring yang Lebih Baik




Oleh: Warsito
 

Akhir pekan lalu (29-30/08) saya mengikuti acara training Sekolah Mentor, yang diselenggarakan oleh LDK Senada STT-NF, kampus tempat saya menimba ilmu. Sekolah Mentor adalah acara yang bertujuan untuk mendidik para calon mentor, tentu agar bisa menjadi mentor, atau murabbi nantinya.

Bagi sebagian orang mungkin sudah tidak asing lagi dengan istilah ini. Tetapi untuk meratakan masalahnya, maka ada baiknya saya sedikit menjelaskan tentang istilah-istilah diatas.

Memang saya kuliah di kampus yang kental dengan warna tarbiyah. Dalam tarbiyah, ada suatu kultur yaitu mentoring, atau biasa disebut Liqo. Sebenarnya tidak jauh berbeda dengan majelis ilmu pada umumnya, hanya berbeda nama dan sedikit kemasan yang khas.

Yang pertama adalah istilah mentoring atau Liqo. Liqo atau mentoring adalah kegiatan majelis ilmu. Dimana jika ada majelis ilmu, pasti ada yang mengajar dan yang diajar. Dalam istilah Liqo, yang mengajar disebut Mentor, atau yang levelnya lebih tinggi lagi disebut Murabbi. Dan yang diajar disebut Mentee (dibaca "menti"), atau yang levelnya lebih tinggi lagi disebut Mad'u. Istilah Mentor dan Mentee ini biasanya digunakan bagi mereka yang masih mahasiswa, sedangkan yang Murabbi dan Mad'u biasanya yang sudah lebih tinggi level Liqo-nya, dengan kata lain Liqo-nya sudah ditingkat gerakan, yang ilmunya sudah lebih tinggi.

Maka sampai disini masalah tentang istilah diatas telah selesai. Sekarang saya ingin membahas tentang kesan saya setelah mengikuti acara tersebut. Saya ingin meminjam istilah dari Nurcholis Madjid, tentang mentoring maupun tarbiyah,  ditinjau dari berbagai aspeknya.

Mendidik Pemuda Islam
Mentoring bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia Islam. Ia ada sejak Islam datang pertama kali di Mekkah. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah Murabbi pertama dalam sejarah Islam. Kegiatan yang berdampak amat baik bagi pertumbuhan pemuda-pemuda kader Islam generasi pertama. Kebiasaan ini terus berlanjut hingga zaman Sahabat, Tabi’in, Tabiut Tab’in sampai saat ini. Bahkan kegiatan mentoring ini dicontoh oleh orang-orang non muslim di Eropa sana. Hal ini terbukti bahwa kegiatan mentoring ini sangat berperan dalam melahirkan pemuda yang unggul, sehingga perlu dilanjutkan. Untuk melanjutkan estafet perjuangan inilah kegiatan mentoring harus tetap ada untuk mendidik pemuda islam. Adapun tolok ukur berhasilnya kegiatan mentoring ini adalah bahwa mentor mampu menjadikan binaannya menjadi seorang mentor untuk disiapkan menjadi penggantinya.

Pemuda Tarbiyah
Saya merupakan anggota organisasi DISC Majid UI, yang masih termasuk lingkungan Universitas Indonesia. Disana, saya bertemu dengan senior-senior yang berasal dari berbagia latar belakang pemikiran. Ada yang berasal dari LIPIA, Muhammadiyah, NU, Persis dan Paramadina. Kami seringkali berdiskusi mengenai berbagai tema, termasuk juga tentang gerakan organisasi pemuda khususnya mahasiswa. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan mahasiswa di kampus-kampus, bahwa pemuda tarbiyah seringkali diremehkan dan dipandang sebelah mata oleh kalangan tertentu. Pemuda yang tidak suka dengan anak-anak tarbiyah ini muncul dari kalangan pemuda sekuler dan agak “ke-kiri-an”. Mereka yang tidak suka ini karena mereka tahu bahwa anak tarbiyah ini adalah kader dari Partai Keadilan Sejahtera, itu saja. Karena mereka yang benci ini juga simpatisan atau bahkan kader dari partai lain yang pada pucuk pimpinan, PKS dianggap hambatan untuk berkuasa. Jadi sangat politis. Tetapi kemudian mereka membuat alasan lain. Salah satunya yaitu bahwa anak tarbiyah itu terlalu lugu, banyak yang masih anti terhadap pemikiran, seni dan sastra. Anak tarbiyah dianggap tidak bisa diajak berdiskusi untuk berfilsafat, memikirkan hal yang paling fundamental. Yang pada akhirnya mereka beranggapan bahwa anak-anak tarbiyah jarang mengkaji esensi ibadah sampai pada makna hakikat. Banyak kader tarbiyah yang menjadi kapitalis dan sekuler tanpa sadar, karena kader tarbiyah banyak yang tidak paham. Dan kemudian mereka menertawakan itu. Maka dari itulah, mereka sering kali merendahkan anak tarbiyah. Dan sebenarnya, melihat Islam ditertawakan oleh orang-orang seperti itu memang menyakitkan.

Meningkatkan Kualitas dan Kuantitas Ibadah
Melihat kegiatan keseharian seharusnya mereka tidak memungkiri, bahwa anak-anak tarbiyah memang ibadahnya kuat. Terbiasa tahajud, shalat dhuha, tadarus satu juz sehari (ODOJ, one day one juz). Yang jika dibandingkan tentu saja mereka dan saya ini tidak apa-apanya, saya yang lebih cenderung urakan, penampilan asal-asalan, tidak rapih, rambut sedikit gondrong dan acak-acakan.

Dan lagi, saya ingin menyampaikan kepada orang-orang yang suka mengejek anak-anak tarbiyah. Sudahlah, jangan seperti itu lagi. Jika kita mau jujur, kita tidak akan saling mengejek, menghina dan meremehkan orang lain jika kita sudah mengenal sosok Nabi Muhammad SAW. Minimal sudah membaca kisah hidup beliau, yang disana digambarkan akhlaq mulia beliau.

Kita akan lebih menghargai orang lain jika kita telah selesai membaca buku Sirah Nabawiyah. Karena kisah perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW penuh dengan kisah mengharukan, yang memuat akhlaq mulia yang bisa meneteskan air mata, jika kita mencintai beliau.

Sekolah Mentor bisa menjadi sarana untuk menjaga spiritualitas binaan maupun mentor. Hal ini sesuai dengan visi dari tarbiyah. Bahwa aspek ibadah begitu penting untuk menjaga kesolidan gerakan. Dalam tujuh taujih, salah satu faktor yang menjadi kekuatan dakwah adalah kekuatan ruhiyah, atau spiritualitas. Begitulah yang ditulis Anis Matta dalam bukunya “Spiritualitas Kader”.

Maka dari itulah, Mentoring merupakan kegiatan penting. Untuk mendidik pemuda islam sehingga bisa menjadi hamba yang shalih yang kuat ruhiyahnya, spiritualitasnya. Tentu tanpa mengesampingkan ilmu lain yang dirasa penting dalam kondisi kekinian yang fundamental. Sehingga paham melihat dunia ini pada hakikatnya seperti apa. Tidak merasa amat pintar karena sukses akan duniawi lalu kemudian merendahkan orang lain. Menjadi shalih tetapi kapitalis tanpa sadar.

Kembali ke topik acara, entah kenapa saya bisa terpilih menjadi peserta sekolah mentor ini, padahal saya tidak termasuk rajin ikut mentoring . Saya sempat merasa menjadi ikhwan sekali saat ikut acara tersebut. Tetapi setelah melihat foto acara, saya tidak lagi merasa ikhwan dan kembali menjadi diri saya. Disana saya terlihat tidak termasuk kriteria disebut ikhwan, ikhwan tarbiyah itu terkenal rapih dan bersih. Tidak seperti saya… wkwkwkwk….



Dimuat di web kampus: nurulfikri.ac.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar