Oleh: Warsito
Film
bisa menjadi sangat berpengaruh terhadap seseorang. Seseorang yang terinspirasi
dari sebuah film tertentu bisa berubah sikap dan pola pikirnya. Dikatakan pula
bahwa 7 dari 10 orang di sekelilingmu adalah penyuka film. Kata-kata itu
diucapkan Nicolas Saputra dalam pembukaan film Janji Joni (2005). Itulah salah
satu bukti bahwa film bisa menjadi sangat berpengaruh dalam kehidupan. Dalam
pembuatan film, kebanyakan produser memberi tambahan kisah cinta di dalamnya,
baik film itu tentang sejarah atau kolosal yang cerita utamanya tentang
perjuangan, atau tentang film lainnya. Ini tujuannya untuk membuat kisah itu
lebih berwarna. Tentu saja itu amat diminati, sehingga akan menarik lebih
banyak penonton dan meninggikan rating.
Jarang
sekali film yang samasekali tak dibumbui kisah cinta antara tokoh utamanya.
Contoh dari yang sedikit itu adalah film Umar bin Khattab dan Uwais al-Qarni,
sepanjang yang pernah saya tonton. Keduanya menghilangkan unsur kisah cinta dua
insan manusia laki-laki dan perempuan, menggantikannya dengan kisah tentang
hubungan manusia dengan Pencipta dan hubungan manusia dengan sesama makhluk.
Mungkin terlalu jauh membandingkan film biasa dengan film tentang kisah Sahabat
dan Tabi’in. | Bahkan film tentang pahlawan Islam: Shalahuddin al-Ayyubi dalam
Kingdom of Heaven, juga dibumbui kisah cinta, meski bukan yang terjadi pada
sang tokoh utama, tetapi Balian dengan seorang putri salah satu pembesar
tentara salib.
Saya
memang bukan seorang pengamat film, tetapi seorang penikmat--terutama film-film
kolosal, tetapi ingin menuliskan beberapa hal berikut. Begini:
Adalah
suatu hal yang wajar ketika film produksi negara-negara besar terutama negara
barat begitu kental dengan kisah cinta antara dua anak manusia. Kenapa? Sebab
memang hanya lewat hubungan manusialah orang barat dapat mengeksplorasi potensi
berkasih sayang itu. Dalam kehidupan sehari-hari, orang barat memang terkesan
sulit mendapatkan cinta, sebab mereka mulai meninggalkan kehidupan spiritual
mereka. Kehidupan spiritual, atau agama dalam hal ini, sebagaimana kita
ketahui, adalah pondasi keutuhan suatu institusi keluarga.
Melalui
film mereka mengungkapkan harapan-harapan akan hangatnya cinta itu;
pengejawantahan cinta yang tak bisa mereka ungkapkan dalam kehidupan. Dan kita
dapat memakluminya. Ada beberapa kajian mengenai krisis cinta dan kasih sayang
dalam keluarga orang-orang barat.
Menjadi
suatu keheranan, ketika hal tersebut ditiru oleh para produser dalam negeri;
negeri kita yang konon katanya, manusia-manusianya relijius. Unsur demikian tak
terkecuali terdapat dalam film yang menatahkan diri sebagai film Islami yang
menginspirasi. Sebut saja film yang belum lama ini rilis, Alif Lam Mim, film
yang disebut bagus oleh sebagian netizen. Juga ada film Islami yang nyata-nyata
pembahasannya hanya mengenai cinta dan kegalauan pencarian jodoh. Ini kemudian
membuat saya berfikir, apakah ummat Islam Indonesia juga kehausan cinta? Saya
rasa, tak perlu ada bumbu kisah cinta semacam itu dalam pembuatan film-film
Indonesia. Karena sebagian besarnya adalah penganut Islam, yang mesti sudah
paham akan makna cinta sejati, pengejawantahan cinta yang luhur kepada
keluarga, kepada Allah SWT dalam ibadah, cinta kepada Nabi SAW, kepada sesama.
Dominannya
kisah cinta antara dua anak manusia, terutama dalam film bernuansa Islam, tentu
menandakan bahwa pemuda Islam kini, juga tengah dijangkiti penyakit kekurangan
cinta, layaknya masyarakat barat.
Ada
satu film, bukan film Indonesia memang, yang tak menampilkan kisah cinta,
kecuali cinta sederhana yang dijalin sepasang suami istri, The Admiral: Roaring
Currents. Film garapan Korea Selatan tentang perjuangan ini patut menjadi
contoh bagaimana membuat film yang "menggugah" dan "membangun
jiwa", kata yang sering dijargonkan oleh penggarap novel dan film Islami
di Indonesia.
Film
lainnya adalah Red Cliff, film yang tak terlalu mengumbar kisah cinta, namun
lebih banyak bercerita tentang kecerdikan dan perjuangan dua orang kawan. Memang
ada adegan yang sangat vulgar, hal yang perlu dihilangkan dalam pemutarannya.
Film Red Cliff |
Sisi
film ini yang membuat saya terharu, adalah kerjasama dua orang pria cerdik dan
pemberani. Dua pria dalam adegan penutup mengakhiri persekutuan dengan
mengucapkan seuntai kalimat bahwa: persekutuan yang terjadi diantara mereka
telah mengajarinya arti sebuah persaudaraan dan pertemanan sejati. Itulah
gambaran yang terjadi jika dua orang pria terhormat saling bekerjasama. Hal
yang belum saya temui ketika menonton film Islami Indonesia. Film Islami kita
itu kebanyakan justru hanya menggambarkan keadaan pemuda Islam kekinian yang
tengah mengalami krisis cinta. Kedepannya penggarap film Islami yang
tengah berusaha memajukan akhlak perfilman lebih memperhatikan hal tersebut. Karena seperti yang telah disampaikan diawal, film sangat berpengaruh terhadap manusia. Jangan sampai pemuda Islam, hanya berfikir tentang cinta dan pencarian jodoh karena terpengaruh film yang Islami tersebut.
Semoga ikhtiar para pembuat film Islami bisa lebih baik lagi dari segi pembuatan alur ceritanya. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar