Oleh: Warsito
“Barang siapa yang Allah inginkan kebaikan
baginya, Allah jadikan dia paham (faqih) dalam urusan agama.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Saat kecil kita telah belajar Islam di
Madrasah atau TPA. Disanalah kita belajar dasar-dasar Islam, mengenal ilmu dan
wawasan. Ustadz atau Ustadzah memberikan penjelasan tentang macam-macam ilmu,
melalui para Guru kita itu kita mengenal klasifikasi ilmu. Syed Muhammad Naquib
al-Attas menjelaskan pembagian ilmu ini dalam buku Islam dan Sekularisme. Menurut beliau pembagian ini mengikuti
tradisi Ulama Islam, klasifikasi ilmu terbagi menjadi 2 kategori yaitu Fardu ‘ain dan Fardu kifayah. Sebagaimana tubuh kita yang terdiri dari dua hal
yaitu jiwa dan raga, begitupun ilmu terbagi kepada dua jenis. Yang pertama
adalah hidangan dan kehidupan bagi jiwanya, dan yang lain adalah bekal untuk
melengkapi diri manusia di dunia untuk mengejar tujuan-tujuan pragmatisnya
untuk raganya.
Islam dan Sekularisme - Syed Muhammad Naquib al-Attas |
Ilmu Fardu
‘ain adalah wajib dikuasai oleh setiap muslim, biasanya ia disebut ilmu
agama. Ia akan membimbing kehidupan setiap muslim untuk menjadi manusia yang
baik. Kitab suci al-Qur’an, sunnah, shari’ah dan hikmah adalah unsur-unsur
utama dari jenis ilmu yang pertama itu. Adapun hikmah, manusia hanya dapat
memperolehnya melalui ibadah dan ketaatan kepada Allah. Hal ini bergantung pada
anugerah Allah Subhanahu wa Ta’ala serta
kekuatan dan kemampuan spiritual yang diberikan Allah kepadanya sehingga ia
dapat menerima ilmu ini.
Ia merangkumi ilmu tentang dasar-dasar Islam
(Islam-Iman-Ihsan),
prinsip-prinsipnya (arkan), arti dan
maksudnya, serta pemahaman dan pelaksanaannya yang benar dalam kehidupan dan
amalan sehari-hari. Setiap Muslim harus mempunyai ilmu tentang prasyarat itu;
harus mengerti dasar-dasar Islam dan Keesaan Allah, Esensi-Nya dan
Sifat-Sifat-Nya (tawhid); harus
mempunyai ilmu tentang al-Qur’an, Nabi Shalla
Llahu ‘alayhi wasallam, sunnah dan
kehidupannya, serta mengamalkan ilmu itu yang didasarkan pada amal dan
pengabdian pada Allah sehingga setiap Muslim sudah berada dalam peringkat awal
ilmu tingkat pertama itu.
Jenis ilmu yang kedua (Fardu kifayah) merujuk kepada ilmu-ilmu sains (ulum) yang diperoleh melalui pengalaman, pengamatan dan penelitian.
Ilmu ini bersifat diskursif dan deduktif dan berkaitan dengan perkara yang
bernilai pragmatis. Ilmu ini wajib dikuasai oleh sebagian saja dari sekelompok
kaum Muslimin. Biasanya ia disebut ilmu dunia, ia hanya mempelajari ilmu-ilmu
tentang keduniaan semata.
Ilmu jenis pertama (ilmu agama, Fardu ‘ain) diberikan oleh Allah kepada
manusia melalui pengungkapan langsung, sedangkan yang kedua melalui spekulasi
dan usaha penyelidikan rasional dan didasarkan atas pengamatannya tentang
segala sesuatu yang dapat ditangkap oleh pancaindra (sensible) dan difahami oleh akal (intelligible). Yang pertama merujuk kepada ilmu tentang kebenaran
objektif yang diperlukan untuk membimbing manusia, sedangkan yang kedua merujuk
kepada ilmu mengenai data yang dapat ditangkap oleh pancaindra dan difahami
akal yang dipelajari (kasbi) untuk
kegunaan dan pemahaman kita.
Dari sudut pandang manusia, dua jenis ilmu
itu harus diperoleh melalui perbuatan secara sadar (‘amal), karena tidak ada
ilmu yang berguna tanpa amal yang lahir dari ilmu tersebut. Dan tidak ada amal
yang bermakna tanpa ilmu. Ilmu jenis pertama menyingkap misteri Wujud dan
Eksistensi dan mengungkapkan hubungan sejati antara diri manusia dan Tuhannya;
dan oleh karena bagi manusia ilmu tersebut terkait dengan tujuan utama manusia
untuk mengetahui, maka dapat disimpulkan bahwa ilmu mengenai prasyarat ilmu
tersebut menjadi dasar dan asas utama untuk ilmu jenis kedua. Karena ilmu yang
kedua itu jika tanpa ada tuntunan dari ilmu yang pertama, maka tidak akan
menuntun manusia dengan benar di dalam kehidupannya dan hanya akan
membingungkan dan menjerat manusia ke dalam kancah pencarian yang tanpa akhir
dan tujuan.
Seseorang yang menguasai ilmu-ilmu Fardu kifayah tetapi kurang dalam Fardu ‘ain dan sedikit ketaatan (karena kurang paham tentang agama) cenderung
riskan untuk berbuat dzalim. Ia tidak bisa adil dan amanah dalam menjalankan
tugasnya sebagai manusia yang baik. Hal ini tentu berimbas pada kondisi
kehidupan masyarakat. Banyaknya pejabat yang kurang dalam pemahaman agama yang
duduk di pemerintahan membuat negara tidak lagi berpihak kepada rakyatnya.
Kondisi yang timbul karena tidak adanya ilmu Fardu a’in yang membimbing pejabat tersebut menjadi manusia yang
baik.
Kita juga melihat bahwa ada batas bagi
manusia terhadap ilmu jenis pertama dan tertinggi itu, sementara dalam ilmu
jenis kedua tidak ada batas. Sehingga selalu wujud kemungkinan pengembaraan
tanpa henti yang didorong akibat penipuan intelektual dan khayalan diri di
dalam keraguan dan keingintahuan dan keingintahuan yang terus menerus.
Seseorang manusia seharusnya membatasi
pencarian ilmu jenis kedua sampai pada keperluan amali dan disesuaikan dengan
hakikat serta kemampuannya.
Penutup
Demikian uraian pengenalan terhadap
klasifikasi ilmu dalam Islam menurut al-Attas. Sebagai Muslim kita bisa
memprioritaskan yang paling mendasar. Sesibuk apapun kita belajar, tidak
sepatutnya kita lalai dalam mencari Ilmu Agama yang bersifat wajib, apalagi
sampai tidak mencarinya lagi sama sekali. Beruntunglah orang-orang yang merasa
nikmat jika telah bergelut dengan buku dan ilmu (Fardu ‘ain). Ia menjadi salah satu manusia yang beruntung karena
Allah menghendaki kebaikan padanya, sesuai hadits yang penulis cantumkan pada
awal tulisan ini, “Barang siapa yang Allah inginkan kebaikan baginya, Allah
jadikan dia paham (faqih) dalam urusan agama.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Wallahu a’lam.
Referensi:
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam dan Sekularisme. Bandung: PIMPIN,
2010.
*****
Dimuat di: Dakwatuna.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar