Desa Tepakyang, Adimulyo-Kebumen; dokumentasi pribadi |
Sebagai pemuda, kita tentu sering
berinteraksi dengan orang-orang tua yang kaya pengalaman dan bersahaja. Saat
berinteraksi seringkali tanpa kita minta, mereka berbicara mengenai kisah dan pengalamannya.
Nasihat-nasihat yang bijak dan berharga bisa kita dengar. Dan seringkali kita
mengabaikan nasihat itu, meski kadang ada pula yang mencatat atau menulisnya
sekedar isi nasihatnya langsung. Banyak diantara kita yang enggan menulis kisah
orang-orang tua yang ditemui meski mereka banyak memberi kesan dalam hidup. Itu
karena banyak tema yang ingin ditulis, sehingga
kita sering menunda untuk menulis tentang kisah orang-orang bijak itu. Tetapi
memang pada titik tertentu, kita akan dihadapkan pada hal yang tidak bisa lagi kita
tunda. Terutama ketika keinginan itu telah memuncak. Karena keinginan untuk
menulis suatu kisah ini telah kuat, maka saya mencoba menulisnya. Sebagai
seorang laki-laki saya tidak biasa untuk mengungkapkan perasaan tentang
orang-orang yang dikasihi karena jasanya. Lain halnya dengan wanita yang
terbiasa mengungkapkan langsung dengan pelukan, tangisan atau kata-kata
langsung, baik lewat tulisan maupun berbicara lisan secara langsung, kami para
kaum lelaki tidaklah segampang itu. Maka bagi laki-laki butuh alasan tertentu
dan harus ada perasaan yang kuat untuk membuat kami para lelaki harus melakukanya,
entah itu hanya saya saja atau memang laki-laki secara umum, yang pasti
begitulah yang saya rasakan. Dan saat ini saya ingin mengungkapkan perasaan
yang kuat itu, melalui tulisan ini. Perlu digaris bawahi bahwa tulisan tentang
orang yang dikasihi disini tidak akan membahas pacar atau wanita pujaan, ada
banyak hal yang lebih penting daripada membahas soal macam itu.
Pagi ini tiba-tiba saya teringat
orang-orang yang telah hadir dalam hidup saya, orang-orang ini telah meninggal
dunia. Mereka hadir lalu dalam sekejap mereka memberi warna hidup dengan kebaikan
jasa tanpa perlu mengenal diri saya lebih jauh, tetapi secepat itu pula mereka
meninggalkan diri saya di dunia ini. Silih berganti orang-orang hadir, ada yang
biasa saja, ada yang mengecewakan dan lebih banyak kitalah yang menyakiti, suka
atau tidak suka kita harus mawas diri mengakui hal itu. Seringkali saya
berfikir bahwa lebih baik tidak lagi mengenal orang-orang, tidak ingin menambah
teman karena khawatir saya hanya akan menjadi beban, menyakiti dan mengecewakan
mereka dikemudian hari. Menurut saya lebih baik punya sedikit teman dan kenalan
tetapi kita bisa memberi arti untuk mereka, daripada banyak teman tetapi
berlalu begitu saja atau kita menjadi beban mereka. Tapi prinsip tiap orang
berbeda-beda, disanalah letak kelas dalam sekolah atau kuliah untuk belajar
saling menghargai.
Waktu kecil saya sering ke Masjid
terutama saat hari besar agama Islam. Disamping karena rumah dekat dengan masjid,
juga karena waktu zaman kecil, salah satu pusat berkumpul untuk anak-anak
seumuran saya waktu itu adalah masjid maka jadi sering ke masjid. Pada hari raya
itu, adalah momen untuk menghidupkan kembali sisi spiritual, memberi seteguk
ceramah untuk jiwa yang haus akan cinta-Nya, memberi siraman rohani untuk
memupuk benih keshalihan diri dengan mengundang tokoh agama, Kyai ataupun Kaji
(gelar untuk orang yang telah naik haji di kampung). Kakek Mahmud adalah Kaji
yang seringkali diundang untuk mengisi momen tersebut. Saya masih ingat jelas
saat mencoba mendengarkan ceramahnya dalam suatu acara di mimbar masjid.
Beberapa kalimat terlontar darinya, kemudian orang-orang tua yang duduk dan
mendengarkan tertawa, entah apa yang mereka tertawakan, saat itu saya adalah
bocah yang belum mengerti apa-apa, mungkin humor bagian dari isi ceramah yang
disampaikan oleh kakek Mahmud. Dari sekian kali melihat beliau saya tidaklah tahu
bahwa suatu saat nanti kami akan sering silaturahim. Beliau tinggal di desa
dekat kota, untuk bepergian beliau selalu menggunakan sepeda onta tua miliknya
hingga tutup usia. Desa tempat tinggal saya yang berada jauh dari kota berjarak
sekitar 10 Km dari desa beliau, dihitung dengan jalan yang berkelok-kelok. Untuk
mencapainya membutuhkan waktu sekitar 2-3 jam menggunakan sepeda tua itu.
Awal Interaksi
Sekira umur 8 tahun saya pindah
sekolah di Cibinong, Bogor, kota hujan orang bilang. Sejak kepindahan hingga 4
tahun tinggal di Bogor saya tidak pernah menemuinya. Setelah lulus SD barulah
saya kembali ke Kebumen. Waktu itu hari sabtu, 2 hari setiba di desa saya
langsung dibawa ke sebuah pesantren di dekat kota oleh salah seorang kakak
kandung. Sebelum menuju ke pesantren kami singgah sejenak dirumah kakek Mahmud,
Abang saya itu seringkali silaturahim kerumah beliau, setiap kali mampir pasti
di tawari untuk makan, kata kaka Abang. Kakek Mahmud memang orang yang sangat
baik dan sederhana. Beliau tinggal disebuah rumah yang bisa dibilang sangat
sederhana, sekedar bisa melindungi dari panas dikala terik mentari siang hari
yang memancar dan melindungi diri dari dinginya udara ketika malam menjelang. Dengan
dinding yang sebagianya masih berupa bilik bambu dan tembok rapuh bercat putih
pucat, juga lantai yang belum di keramik. Beliau tinggal bersama istrinya,
nenek Saminem namanya, meski begitu hal itu tidak menghalangi mereka untuk
tetap berbagi. Raut wajah mereka sama sekali tidak memancarkan rasa sedih dan
mengiba apalagi memasang muka masam, selama saya mengenal beliau saya tidak
pernah mendengar keluh kesah yang keluar dari mulut mereka.
Sepasang Suami Istri itu Bernama Kakek Mahmud dan Nenek Saminem
Dua hari berselang setelah saya
diterima di pesantren, hari Senin itu saya kembali ke rumah kakek Mahmud.
Setelah bersusah payah mencari akhirnya saya menemukan rumah kakek Mahmud.
Setiba disana saya disambut dengan baik dan dengan ekspresi tidak percaya,
kaget dan riang beliau menyebut nama, “Warsito”. Beliau mengaku kaget karena
begitu cepat saya kembali dan bisa menemukan lokasi rumahnya. Segera saja
beliau menyuruh seseorang untuk mencari Abang dan menyuruh saya masuk kedalam,
hawa sejuk langsung terasa. Alhamdulillah saya ucapkan dalam hati, rasa lelah
dan rasa panas yang dirasakan berangsur-angsur hilang setelah duduk diruang
tamu itu. Saya ingat 2 hari lalu juga duduk disana. Ruang tamu yang ala
kadarnya, dua buah kursi panjang terbuat dari bambu dengan meja kayu
ditengahnya, yang biasa digunakan oleh orang-orang yang tidak mampu. “Kenapa
kamu ko balik lagi to?” suara nenek Saminem membuyarkan lamunanku, ”Mau ambil
seragam sekolah nek” jawab saya singkat. Nenek Saminem menyediakan pacitan, ada sagon, kue satu dan kue-kue
orang Kebumen pada umumnya, saya membuka toples berisi kacang. Sambil menikmati
kacang saya menanyakan seragam yang tempo hari dititipkan dirumah ini.
Nenek Saminem dengan senang hati
mengambilkan seragam itu. Mereka berdua kemudian mengambilkan sepiring nasi
dengan sayur dan lauk. Tentu saja, hanya sayur dan lauk yang sederhana, sambil
makan saya diberi nasehat oleh mereka. Tentang hidup, kita harus bisa prihatin,
pasrah akan ketentuan dan kehendak Tuhan. Nasihat yang bersahaja, tentu berguna
untuk mengarungi kehidupan di dunia yang penuh gejolak ini, dimana kebanyakan
manusia lupa akan kesejatian tujuan hidup.
Setelah mendapatkan seragam, saya
kembali ke pesantren. Setelah hari itu, seringkali saya mampir ke rumah beliau
sebelum kembali melanjutkan perjalanan kembali ke rumah. Sebanyak silaturahmi
ke tempat beliau, sebanyak itu pula beliau selalu bersikap baik. Mana pernah
beliau tidak baik pada setiap orang yang beliau temui. Ah, sepasang suami istri
yang sederhana itu..
Ketika Mereka Telah Tiada
Setelah lulus dari pesantren,
saya berangkat ke surabaya untuk menambah daftar hijrah (merantau). Sesekali
pulang, dalam agenda pulang itulah saya menyempatkan diri bertemu beliau.
Beliau yang telah menjadi orang penting dalam hidup dengan kebaikan-kebaikannya.
Saat kepulangan yang pertama itu, saya mendapat kabar bahwa nenek Saminem,
istri kakek Mahmud telah meninggal. Sejenak tertegun, dalam diam saya menelisik
hati, ada perasaan sangat sedih, haru dan serupa sunyi disana. Ya, beliau yang
amat baik selama hidupnya, kini telah tiada. Tak bisa lagi untuk berjumpa dan
mendengar suara beliau. Saya juga mendapat kabar bahwa kakek Mahmud tengah terbaring
sakit, sakit yang sudah berlangsung lama. Beliau tidak bisa lagi berjalan dan
beraktivitas seperti biasa. Karena memang umur beliau sudah amat lanjut dan itu
membuatnya lemah. Beliau saat itu telah tinggal di rumah anak beliau, yang bisa
merawatnya dan tidak dirumah yang dulu saya sering berkunjung. Saya berkunjung
dan menjenguk ke dalam kamar dimana beliau terbaring. Lemah dirinya terlihat,
matanya berair seraya lirih mencoba menebak seseorang yang datang menjenguknya
ini, kemudian beliau mengucap sebuah nama, dan saya jawab “Iya ini saya, Ito
Mbah”. Saya hanya bisa menanyakan kabar dan mendoakan beliau semoga lekas
sembuh. Saya tidak kuat berlama-lama disana. Setelah menjenguk saya lekas
pamit.
Pada kepulangan yang kedua, terdengar
kabar kakek Mahmud telah menyusul nenek Saminem. Pada kebaikan mereka saya
doakan semoga menjadi amal yang bisa menyelematkan mereka. Saya yakin Allah
mengasihi orang-orang seperti mereka. Kakek Mahmud yang memanfaatkan sisa waktu
umurnya yang masih sehat, meski sudah tua beliau bersedia berdakwah, berceramah
di kampung kami meski harus menempuh jarak yang jauh dengan bersepeda. Nenek
Saminem dan kakek Mahmud, selalu menerima kunjungan orang-orang dirumah mereka
dengan baik dan sangat perhatian.
Pelajaran Hidup
Sampai kuliah, saya tidak bisa
melupakan jasa mereka. Kesederhanaan hidup mereka, sikap bersahaja mereka,
meski mereka kekurangan tetapi tidak membuat mereka berputus asa dan mengeluh.
Bahkan mereka tetap mau berbagi untuk orang-orang disekitarnya. Saya ingin
selalu berdoa, semoga kalian, kakek Mahmud dan nenek Saminem, mendapat tempat
terindah di sisi-Nya. Mendapat kenikmatan atas balasan kebaikan kalian selama hidup
di dunia, mendapat balasan kenikmatan atas kebaikan yang telah kalian berikan
untuk orang-orang selama hidup dan selama kita bertemu, aamiin Ya Robbal
‘Aalamiin.
Depok-Jakarta, 2015-2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar