Rabu, 02 Maret 2016

Orang-Orang yang Dikasihi dan yang Telah Pergi (Kakek Mahmud dan Nenek Saminem)





Kampung Halaman
Desa Tepakyang, Adimulyo-Kebumen; dokumentasi pribadi




Sebagai pemuda, kita tentu sering berinteraksi dengan orang-orang tua yang kaya pengalaman dan bersahaja. Saat berinteraksi seringkali tanpa kita minta, mereka berbicara mengenai kisah dan pengalamannya. Nasihat-nasihat yang bijak dan berharga bisa kita dengar. Dan seringkali kita mengabaikan nasihat itu, meski kadang ada pula yang mencatat atau menulisnya sekedar isi nasihatnya langsung. Banyak diantara kita yang enggan menulis kisah orang-orang tua yang ditemui meski mereka banyak memberi kesan dalam hidup. Itu karena banyak tema yang ingin  ditulis, sehingga kita sering menunda untuk menulis tentang kisah orang-orang bijak itu. Tetapi memang pada titik tertentu, kita akan dihadapkan pada hal yang tidak bisa lagi kita tunda. Terutama ketika keinginan itu telah memuncak. Karena keinginan untuk menulis suatu kisah ini telah kuat, maka saya mencoba menulisnya. Sebagai seorang laki-laki saya tidak biasa untuk mengungkapkan perasaan tentang orang-orang yang dikasihi karena jasanya. Lain halnya dengan wanita yang terbiasa mengungkapkan langsung dengan pelukan, tangisan atau kata-kata langsung, baik lewat tulisan maupun berbicara lisan secara langsung, kami para kaum lelaki tidaklah segampang itu. Maka bagi laki-laki butuh alasan tertentu dan harus ada perasaan yang kuat untuk membuat kami para lelaki harus melakukanya, entah itu hanya saya saja atau memang laki-laki secara umum, yang pasti begitulah yang saya rasakan. Dan saat ini saya ingin mengungkapkan perasaan yang kuat itu, melalui tulisan ini. Perlu digaris bawahi bahwa tulisan tentang orang yang dikasihi disini tidak akan membahas pacar atau wanita pujaan, ada banyak hal yang lebih penting daripada membahas soal macam itu.


Pagi ini tiba-tiba saya teringat orang-orang yang telah hadir dalam hidup saya, orang-orang ini telah meninggal dunia. Mereka hadir lalu dalam sekejap mereka memberi warna hidup dengan kebaikan jasa tanpa perlu mengenal diri saya lebih jauh, tetapi secepat itu pula mereka meninggalkan diri saya di dunia ini. Silih berganti orang-orang hadir, ada yang biasa saja, ada yang mengecewakan dan lebih banyak kitalah yang menyakiti, suka atau tidak suka kita harus mawas diri mengakui hal itu. Seringkali saya berfikir bahwa lebih baik tidak lagi mengenal orang-orang, tidak ingin menambah teman karena khawatir saya hanya akan menjadi beban, menyakiti dan mengecewakan mereka dikemudian hari. Menurut saya lebih baik punya sedikit teman dan kenalan tetapi kita bisa memberi arti untuk mereka, daripada banyak teman tetapi berlalu begitu saja atau kita menjadi beban mereka. Tapi prinsip tiap orang berbeda-beda, disanalah letak kelas dalam sekolah atau kuliah untuk belajar saling menghargai.


Waktu kecil saya sering ke Masjid terutama saat hari besar agama Islam. Disamping karena rumah dekat dengan masjid, juga karena waktu zaman kecil, salah satu pusat berkumpul untuk anak-anak seumuran saya waktu itu adalah masjid maka jadi sering ke masjid. Pada hari raya itu, adalah momen untuk menghidupkan kembali sisi spiritual, memberi seteguk ceramah untuk jiwa yang haus akan cinta-Nya, memberi siraman rohani untuk memupuk benih keshalihan diri dengan mengundang tokoh agama, Kyai ataupun Kaji (gelar untuk orang yang telah naik haji di kampung). Kakek Mahmud adalah Kaji yang seringkali diundang untuk mengisi momen tersebut. Saya masih ingat jelas saat mencoba mendengarkan ceramahnya dalam suatu acara di mimbar masjid. Beberapa kalimat terlontar darinya, kemudian orang-orang tua yang duduk dan mendengarkan tertawa, entah apa yang mereka tertawakan, saat itu saya adalah bocah yang belum mengerti apa-apa, mungkin humor bagian dari isi ceramah yang disampaikan oleh kakek Mahmud. Dari sekian kali melihat beliau saya tidaklah tahu bahwa suatu saat nanti kami akan sering silaturahim. Beliau tinggal di desa dekat kota, untuk bepergian beliau selalu menggunakan sepeda onta tua miliknya hingga tutup usia. Desa tempat tinggal saya yang berada jauh dari kota berjarak sekitar 10 Km dari desa beliau, dihitung dengan jalan yang berkelok-kelok. Untuk mencapainya membutuhkan waktu sekitar 2-3 jam menggunakan sepeda tua itu.


Awal Interaksi

Sekira umur 8 tahun saya pindah sekolah di Cibinong, Bogor, kota hujan orang bilang. Sejak kepindahan hingga 4 tahun tinggal di Bogor saya tidak pernah menemuinya. Setelah lulus SD barulah saya kembali ke Kebumen. Waktu itu hari sabtu, 2 hari setiba di desa saya langsung dibawa ke sebuah pesantren di dekat kota oleh salah seorang kakak kandung. Sebelum menuju ke pesantren kami singgah sejenak dirumah kakek Mahmud, Abang saya itu seringkali silaturahim kerumah beliau, setiap kali mampir pasti di tawari untuk makan, kata kaka Abang. Kakek Mahmud memang orang yang sangat baik dan sederhana. Beliau tinggal disebuah rumah yang bisa dibilang sangat sederhana, sekedar bisa melindungi dari panas dikala terik mentari siang hari yang memancar dan melindungi diri dari dinginya udara ketika malam menjelang. Dengan dinding yang sebagianya masih berupa bilik bambu dan tembok rapuh bercat putih pucat, juga lantai yang belum di keramik. Beliau tinggal bersama istrinya, nenek Saminem namanya, meski begitu hal itu tidak menghalangi mereka untuk tetap berbagi. Raut wajah mereka sama sekali tidak memancarkan rasa sedih dan mengiba apalagi memasang muka masam, selama saya mengenal beliau saya tidak pernah mendengar keluh kesah yang keluar dari mulut mereka.


Sepasang Suami Istri itu Bernama Kakek Mahmud dan Nenek Saminem

Dua hari berselang setelah saya diterima di pesantren, hari Senin itu saya kembali ke rumah kakek Mahmud. Setelah bersusah payah mencari akhirnya saya menemukan rumah kakek Mahmud. Setiba disana saya disambut dengan baik dan dengan ekspresi tidak percaya, kaget dan riang beliau menyebut nama, “Warsito”. Beliau mengaku kaget karena begitu cepat saya kembali dan bisa menemukan lokasi rumahnya. Segera saja beliau menyuruh seseorang untuk mencari Abang dan menyuruh saya masuk kedalam, hawa sejuk langsung terasa. Alhamdulillah saya ucapkan dalam hati, rasa lelah dan rasa panas yang dirasakan berangsur-angsur hilang setelah duduk diruang tamu itu. Saya ingat 2 hari lalu juga duduk disana. Ruang tamu yang ala kadarnya, dua buah kursi panjang terbuat dari bambu dengan meja kayu ditengahnya, yang biasa digunakan oleh orang-orang yang tidak mampu. “Kenapa kamu ko balik lagi to?” suara nenek Saminem membuyarkan lamunanku, ”Mau ambil seragam sekolah nek” jawab saya singkat. Nenek Saminem menyediakan pacitan, ada sagon, kue satu dan kue-kue orang Kebumen pada umumnya, saya membuka toples berisi kacang. Sambil menikmati kacang saya menanyakan seragam yang tempo hari dititipkan dirumah ini.


Nenek Saminem dengan senang hati mengambilkan seragam itu. Mereka berdua kemudian mengambilkan sepiring nasi dengan sayur dan lauk. Tentu saja, hanya sayur dan lauk yang sederhana, sambil makan saya diberi nasehat oleh mereka. Tentang hidup, kita harus bisa prihatin, pasrah akan ketentuan dan kehendak Tuhan. Nasihat yang bersahaja, tentu berguna untuk mengarungi kehidupan di dunia yang penuh gejolak ini, dimana kebanyakan manusia lupa akan kesejatian tujuan hidup.


Setelah mendapatkan seragam, saya kembali ke pesantren. Setelah hari itu, seringkali saya mampir ke rumah beliau sebelum kembali melanjutkan perjalanan kembali ke rumah. Sebanyak silaturahmi ke tempat beliau, sebanyak itu pula beliau selalu bersikap baik. Mana pernah beliau tidak baik pada setiap orang yang beliau temui. Ah, sepasang suami istri yang sederhana itu..


Ketika Mereka Telah Tiada

Setelah lulus dari pesantren, saya berangkat ke surabaya untuk menambah daftar hijrah (merantau). Sesekali pulang, dalam agenda pulang itulah saya menyempatkan diri bertemu beliau. Beliau yang telah menjadi orang penting dalam hidup dengan kebaikan-kebaikannya. Saat kepulangan yang pertama itu, saya mendapat kabar bahwa nenek Saminem, istri kakek Mahmud telah meninggal. Sejenak tertegun, dalam diam saya menelisik hati, ada perasaan sangat sedih, haru dan serupa sunyi disana. Ya, beliau yang amat baik selama hidupnya, kini telah tiada. Tak bisa lagi untuk berjumpa dan mendengar suara beliau. Saya juga mendapat kabar bahwa kakek Mahmud tengah terbaring sakit, sakit yang sudah berlangsung lama. Beliau tidak bisa lagi berjalan dan beraktivitas seperti biasa. Karena memang umur beliau sudah amat lanjut dan itu membuatnya lemah. Beliau saat itu telah tinggal di rumah anak beliau, yang bisa merawatnya dan tidak dirumah yang dulu saya sering berkunjung. Saya berkunjung dan menjenguk ke dalam kamar dimana beliau terbaring. Lemah dirinya terlihat, matanya berair seraya lirih mencoba menebak seseorang yang datang menjenguknya ini, kemudian beliau mengucap sebuah nama, dan saya jawab “Iya ini saya, Ito Mbah”. Saya hanya bisa menanyakan kabar dan mendoakan beliau semoga lekas sembuh. Saya tidak kuat berlama-lama disana. Setelah menjenguk saya lekas pamit.


Pada kepulangan yang kedua, terdengar kabar kakek Mahmud telah menyusul nenek Saminem. Pada kebaikan mereka saya doakan semoga menjadi amal yang bisa menyelematkan mereka. Saya yakin Allah mengasihi orang-orang seperti mereka. Kakek Mahmud yang memanfaatkan sisa waktu umurnya yang masih sehat, meski sudah tua beliau bersedia berdakwah, berceramah di kampung kami meski harus menempuh jarak yang jauh dengan bersepeda. Nenek Saminem dan kakek Mahmud, selalu menerima kunjungan orang-orang dirumah mereka dengan baik dan sangat perhatian.


Pelajaran Hidup


Sampai kuliah, saya tidak bisa melupakan jasa mereka. Kesederhanaan hidup mereka, sikap bersahaja mereka, meski mereka kekurangan tetapi tidak membuat mereka berputus asa dan mengeluh. Bahkan mereka tetap mau berbagi untuk orang-orang disekitarnya. Saya ingin selalu berdoa, semoga kalian, kakek Mahmud dan nenek Saminem, mendapat tempat terindah di sisi-Nya. Mendapat kenikmatan atas balasan kebaikan kalian selama hidup di dunia, mendapat balasan kenikmatan atas kebaikan yang telah kalian berikan untuk orang-orang selama hidup dan selama kita bertemu, aamiin Ya Robbal ‘Aalamiin.





Depok-Jakarta, 2015-2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar